Belajar dari Pengalaman Menghadapi Pandemi Covid-19

Menjadi ingatan tidak enak ketika pandemi disikapi dengan gaya bercanda para pejabat.

Max Pixel
Covid 19 (ilustrasi)
Red: Fernan Rahadi

Oleh : Sunarto

REPUBLIKA.CO.ID, Tulisan ini sebagai catatan ringkas pe­ngalaman rakyat biasa dalam menghadapi pandemi. Sulit rasanya opini ini bisa menampung semua ke­ja­dian, apalagi fakta detailnya. Artikel ini hanya potongan pengalaman, cerita, dan fakta apa yang terjadi.


Sejak sebelum dan awal masuknya kasus Covid-19, ruang media massa diwarnai de­ngan ekspresi penasaran, ketakutan, keragu­an hingga pernyataan-pernyataan "miring" oknum pejabat yang kesannya menyepele­kan. Kita bisa mengecek kembali berita da­lam dokumen digital, bagaimana sikap orang Indonesia pada bulan-bulan awal tahun 2020.

Menjadi ingatan tidak enak ketika fakta pandemi disikapi dengan gaya bercanda para pejabat publik namun kemudian mengalami kewalahan penanganan secara umum.

Pilihan prioritas penanganan pandemi pe­merintah pusat terasa lebih memilih men­jaga stabilitas ekonomi dari pada fokus me­ngatasi problem kesehatan yang berbahaya dan menelan banyak korban dan biaya di akhir waktu. Hal ini tercermin dengan eks­presi pilihan kebijakan yang dikeluarkan pe­merintah dalam bentuk regulasi dan imple­mentasi alokasi anggaran.

Harapan para ahli kesehatan masyarakat, pemerintah menerapkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan ke­sehatan sebagai upaya pencegahan penye­baran virus korona di Indonesia. Sesuai un­dang-undang ini, salah satu kewajiban peme­rintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak.

Namun publik menilai pemerintah terke­san menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kemudian pe­merintah mengeluarkan berbagai istilah ke­bijakan pembatasan yang diterapkan, con­tohnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Ke­gi­atan Masyarakat (PPKM) darurat yang dibuat dalam berbagai level.

Peristiwa pandemi ini mendapat respons dan opini masyarakat yang beragam. Seba­gian masyarakat mengaku pandemi virus ko­rona dan penanganannya sangat meng­gang­gu kondisi perekonomian. Di sisi lain pem­beritaan media tentang insidensi kasus dan kematian, berpengaruh pada emosi, mereka memahami virus korona membahayakan ke­sehatan dan merasa takut tertular virus.

Imbauan untuk patuh melaksanakan pro­tokol kesehatan awal pandemi cukup di­patuhi warga. Warga secara mandiri mela­kukan isolasi lokal yang diinisiasi oleh RW dan RT setempat. Sayangnya kepatuhan war­ga tidak berjalan lama, sejak presiden me­ngeluarkan pernyataan kita menghadapi pandemi Covid-19 dengan "New Normal".

Catatan lain bahwa pemerintah dinilai kewalahan dalam mengatasi permasalahan virus korona di Indonesia. Kebijakan-kebija­kan yang diberlakukan seakan tidak memiliki pengaruh atas perkembangan penularan virus. Awal pandemi, pelayanan kesehatan kita terganggu karena berbagai kelangkaan masker dan Alat Pelindung Diri (APD) yang terstandar.

Ini sangat berpengaruh pada kualitas pe­layanan dan banyaknya tenaga kesehatan yang tertular Covid-19. Saat itu cukup banyak fasilitas kesehatan, khususnya puskesmas menutup sementara pelayanan. Sementara tak sedikit dokter, bidan, dan perawat yang tertu­lar dan wafat karena terinfeksi Covid-19.

Puncak pandemi di Indonesia sekitar bulan Juli dan awal Agustus 2021  ditandai de­ngan angka penularan yang sangat tinggi dan kelebihan beban layanan bagi hampir seluruh rumah sakit. Masalah krusial yang muncul dan menjadi berita utama publik ada­lah kelangkaan tabung isi oksigen, sebagai salah satu faktor utama penyelamatan pa­sien.

Langkah upaya pencegahan melalui 5M: mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas dapat dilaksanakan, namun terken­dala berbagai faktor. Kesadaran dan kedi­si­plinan belum menjadi kebiasaan, selain dipe­ngaruhi oleh persepsi dan hoaks tentang pan­de­mi Covid-19.

Masyarakat mengalami keraguan dan kejenuhan dalam menjalankan 5M. Upaya gen­car program vaksinasi cukup mendapat sam­butan yang positif oleh warga, meskipun masih ada sebagian yang masih ragu. Pe­ngalaman penting lain adalah pencatatan da­ta yang harus lebih cepat, akurat, dan trans­paran. Basis data kasus pandemi merupakan kunci ketepatan penanganan dan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan selan­jutnya. 

 

*Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UII

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler