Asal Usul Buku Habis Gelap Terbitlah Terang
Ketika kita berbicara tentang Raden Ajeng Kartini, pasti kita akan teringat dengan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Ketika kita berbicara tentang Raden Ajeng Kartini, pasti kita akan teringat dengan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Selama ini dikatakan bahwa buku tersebut berasal dari kumpulan surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon atau teman-teman Eropanya. Jika membaca surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Kartini penganut feminisme dan sekuler. Padahal, tidak demikian adanya. Justru, Kartini mengapresiasi Islam dan Ilmu Tasawuf.
Perjalanan Spiritual
Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” ini merupakan kisah perjalanan spiritual Kartini menemukan cahaya Ilahi. Adalah Kyai Sholeh Darat yang membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Pangeran Ario Hadiningrat merupakan paman Kartini.
Saat itu Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Selama pengajian, Kartini begitu menyimak kata demi kata yang disampaikan sang kyai. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini meminta pamannya untuk mempertemukannya dengan Kyai Sholeh Darat. Dalam pertemuan itu Kartini mengungkapkan perasaannya yang sangat bersyukur berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah sehingga menggetarkan sanubarinya.
Selama ini Kartini merasa bahwa para ulama menyembunyikan ilmunya. Bahkan, melarang keras Al-Quran diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam Bahasa Jawa. Sementara, Kartini beranggapan bahwa tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Akhirnya, Kartini meminta Kyai Sholeh Darat menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.
Kyai Sholeh tidak bisa mengucapkan apa pun selain kata ‘Subhanallah”. Permintaan Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.
Pegon
Meskipun pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Quran, Kyai Sholeh Darat melanggar larangan itu. Beliau menerjemahkan Al-Quran dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an yang ditulis Kyai Sholeh Darat ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman. Kitab ini merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Saat menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang, Kartini dihadiahi kitab itu oleh Kyai Sholeh Darat. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan kalimat berikut ini.
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Kyai Sholeh menerjemahkan surat Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Namun sayangnya, penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kartini mempelajari kitab tersebut secara serius di hampir setiap waktu luangnya. Melalui terjemahan Kyai Sholeh Darat, Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu dalam Surat Al Baqarah ayat 257. Bunyi ayat tersebut adalah orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.
Peristiwa itulah cikal bakal dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Bukan dari kumpulan surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon. Banyak surat Kartini kepada Abendanon mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Ungkapan tersebut oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Seiring pemahaman Kartini yang makin relijius, pancaran cahaya menyatu dalam pemikirannya. Maka, ada yang sempat mempermasalahkan kata “terang” karenakata dalam bahasa Belanda yang dimaksud seharusnya diterjemahkan dengan “cahaya” sehingga terjemahan dari “Door Duisternis Toot Licht” adalah “Habis Gelap Terbitlah Cahaya.”