Central Park New York Menjadi Lab Perubahan Iklim
Selama dekade terakhir, Central Park telah mengalami berbagai peristiwa cuaca ekstrem
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Central Park, paru-paru hijau seluas 843 hektar di Kota New York yang dibuat pada 1858, sekarang menjadi laboratorium perubahan iklim. Para peneliti akan membantu taman nasional ini menjadi lebih tangguh.
Tim Lab Iklim Central Park ingin menggunakan data dari satelit dan di lapangan untuk mempelajari pola musiman dan cara kehidupan tumbuhan serta hewan merespons perubahan cuaca. "Kami juga ingin memahami bagaimana taman merupakan bagian dari solusi," kata profesor geografi dan ilmu urbanisasi di Yale School of the Environment Karen Seto.
"Berapa banyak karbon yang diserap taman? Berapa banyak bantuan pendinginan yang ditawarkan taman untuk kedua orang yang datang ke taman, tetapi juga penduduk di sekitar taman?" katanya.
Lab tersebut diluncurkan bersama dua lembaga nonprofit yang berbasis di New York City, Central Park Conservancy dan Natural Areas Conservancy. Proyek ini telah dimulai pada awal tahun.
"Kota-kota harus menjadi bagian dari solusi perubahan iklim. Kami berharap dapat menginformasikan kebijakan tentang cara terbaik untuk mengelola aset di taman ini sehingga ruang hijau dapat terus berlanjut untuk memberikan bantuan pendinginan, pembersihan udara, dan lainnya," katanya Seto.
Selama dekade terakhir, Central Park telah mengalami berbagai peristiwa cuaca ekstrem termasuk hujan lebat, badai salju, angin kencang, serta panas dan dingin yang ekstrem. Pada September 2021, Badai Ida menjatuhkan 3,15 inci hujan di taman itu dalam satu jam, mengalahkan rekor yang dibuat hanya 10 hari sebelumnya.
Berdiri di dekat pohon yang tumbang, manajer perawatan pohon untuk Central Park Conservancy Peter Haupt mengatakan, bahwa proyek tersebut akan memasang alat untuk mengukur pertumbuhan pohon secara bertahap. Tujuannya adalah untuk pada akhirnya sampai pada titik dapat membuat beberapa kesimpulan tentang bagaimana perubahan iklim berdampak pada taman.