Menumbuhkan dan Merawat Naluri Berbuat Kebaikan
Secara alami manusia itu cenderung berbuat kebaikan dan senantiasa bahagia.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filosof dari Perancis mengatakan, “Secara alami manusia itu cenderung berbuat kebaikan dan senantiasa bahagia, hanya saja setelah ia hidup bermasyarakat, lingkungan hidup di sekitarnya menghancurkan naluri berbuat kebaikan dan senantiasa bahagia. Akhirnya, ia menjadi orang yang condong berbuat kejelekan dan tidak bahagia.” (Muel Kapten, Why Good People Sometimes Do Bad Things, 2006 : 11).
Jauh sebelum Jean-Jacques Rousseau membuat pernyataan tersebut, Islam telah lebih dulu menyatakan apa yang dikatakan sang filosof tersebut. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, suci.
Salah satu makna dari fithrah adalah kecenderungan untuk berbuat kebaikan. Malahan lebih dari itu, sejak di alam ajali setiap insan sudah dibekali keyakinan akan adanya Allah, hanya saja, perkembangan selanjutnya, lingkungan kehidupan merubahnya. Arahan dan pendidikan yang diberikan kedua orang tua paling dominan mempengaruhi perilaku seseorang (intisari dari hadits yang diriwayatkan Thabrani, Abu Ya’la, dan Baihaqi).
Berdasarkan hadits dan pernyataan Jean-Jacques Rousseau tersebut kita semakin yakin, lingkungan sangat mempengaruhi jiwa seseorang. Lingkungan yang baik akan menumbuhkan sikap yang baik pada jiwa seseorang. Demikian pula sebaliknya, lingkungan yang jelek akan menumbuhkan sikap jelek pada jiwa seseorang.
Lingkungan yang baik akan semakin memoles fitrah seseorang untuk semakin mencintai dan berbuat kebaikan. Sementara lingkungan yang jelek, akan menutup nilai-nilai fitrah yang ada dalam jiwa, sehingga hati akan condong kepada perbuatan jelek atau dosa.
Inilah yang dalam sebuah hadits dikatakan, ketika seseorang berbuat dosa, hakikatnya ia sedang mewarnai hatinya yang putih bersih dengan noda hitam. Semakin banyak perbuatan dosanya, semakin hitamlah hatinya. Namun demikian, naluri keinginan berbuat kebaikannya masih ada di hatinya, hanya saja lingkungan tempatnya ia bergaul senantiasa membisikan dan mengajak kepada perbuatan yang melawan naluri baik di hatinya.
Dari sudut pandang filsafat, orang yang berbuat dosa dan kejahatan pada hakikatnya adalah orang yang sedang menyiksa dirinya sendiri. Secara lahiriah ia nampak senang, banyak uang, bisa makan enak, dan bisa berbuat sewenang-wenang sekalipun melanggar hukum, baik hukum agama maupun hukum positif.
Namun secara batiniah, keadaan hati nuraninya bertentangan dengan keadaan lahiriah. Secara lahiriah ia nampak senang, tetapi batinnya tersiksa. Ibarat lirik sebuah lagu, bibir tersenyum hati menangis.
Pada hakikatnya, kejahatan itu merusak jiwa pelakunya. Jika seseorang berbuat suatu kejahatan, hanya tampaknya sajalah ia menang dan berkuasa. Namun sebenarnya, jiwanya menderita. Dengan kata lain, orang yang berbuat suatu kejahatan sebenarnya ia telah menghancurkan jiwanya sendiri. Oleh karena itu, jika orang ingin jiwanya selamat, maka mereka harus memilih menderita (karena perbuatan baik) daripada mendapatkan kesenangan (sementara) dengan melakukan kejahatan. Demikian kata Aristoteles, sang Filosof asal Yunani (Reza A.A. Watimena, Filsafat Anti Korupsi, 2016 : 120).
Ibnu Taimiyah berujar, “Sesungguhnya kebaikan itu memiliki cahaya dalam hati, energi pada tubuh, keluasan rezeki dan cinta di hati para makhluk. Sedangkan keburukan itu membawa kegelapan dalam hati, hitam pada wajah, kelemahan pada tubuh, sempit rezeki, dan kebencian di hati makhluk”
Bukan hal yang mudah untuk tetap konsisten menjaga perbuatan baik. Setiap hari, jiwa kita selalu berperang . Bisikan untuk berbuat kebaikan sering datang di hati kita, namun ketika akan melakukannya, datang pula bisikan yang mengajak kita untuk berbuat kejahatan atau dosa.
Ketika kondisi keyakinan kita kuat, kita bisa melawan dan mengalahkan bisikan jahat, dan kita mampu berbuat kebaikan. Namun harus jujur diakui, bisikan untuk berbuat kejelekan atau perbuatan dosa lebih sering menguasai jiwa kita.
Kita sering memiliki dorongan kuat untuk mengetahui aib, kejelekan, atau dosa yang telah diperbuat seseorang daripada dorongan kuat untuk mengetahui kebaikannya. Demikian pula, dorongan untuk menceritakan aib, kejelekan, atau dosa yang telah diperbuat seseorang selalu lebih kuat daripada dorongan kuat untuk menceritakan kebaikannya.
Dalam melaksanakan ibadah mahdhah pun tak jauh berbeda. Ketika kita dipanggil atasan atau majikan, kita “buru-buru” memenuhi panggilannya. Segala kepentingan kita tinggalkan dahulu demi memenuhi panggilan atasan atau majikan. Namun, ketika Allah memanggil kita melalui suara azan, kita tidak “buru-buru” memenuhinya. Perasaan santai dan malas sering hinggap di jiwa kita. Parahnya, “boro-boro” memenuhi panggilan-Nya, sekedar untuk menjawab panggilan-Nya (melalui suara azan) saja sering kita abaikan.
Dalam sebuah hadits, kita sudah diingatkan, berbuat kebaikan itu memerlukan perjuangan berat. Rintangan dari dalam jiwa dan lingkungan sekitar selalu terbentang menghadang. Tak bisa dipungkiri, kira sering merasakan betapa beratnya melakukan suatu kebaikan. Padahal, jika dilakukan dengan ikhlas, jaminan dari Allah sudah pasti, yakni kebahagiaan hidup. Kalaupun kebahagiaan hidup tak diperoleh di dunia, Allah memberikannya di akhirat kelak. Kenikmatan sorga menjadi jaminannya.
Sebaliknya, untuk berbuat kejahatan seolah-olah kita sering mendapatkan kemudahan untuk melakukannya. Malahan sekalipun harus mengeluarkan uang, dengan senang hati kita mengeluarkannya, bahkan tak pernah berpikir ulang dan berpikir panjang. Padahal ketika kita berbuat kesalahan atau dosa sudah pasti akan mengotori hati nurani, kesenangannya bersifat sementara, dan hanya bersifat lahiriah saja. Jika tidak bertobat, kesengsaraan di akhirat kelak sudah pasti menanti.
Rasulullah saw telah memberikan teladan agar kita senantiasa memohon kepada Allah agar mampu melihat kebaikan dan diberi kekuatan dalam melakukannya. Juga, kita harus memohon kemampuan melihat dan menyadari akan perbuatan jahat, maksiat, dan dosa seraya memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjauhinya.
Dengan kasih sayang-Nya, Allah telah membekali jiwa kita dengan nurani yang tak akan pernah berbohong. Hanya saja, seperti telah disebutkan di awal tulisan banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga perilaku kita bertentangan dengan suara hati nurani kita yang sebenarnya.
Kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat hanya akan diperoleh orang-orang yang mampu menumbuhkan dan merawat naluri berbuat kebaikan di hatinya yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang akan berbahagia dan mendapat rahmat-Nya, tidak bersedih kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang merawat hatinya agar selalu condong kepada kebaikan. Al Qur’an mengistilahkannya dengan “Qalbun Salim” alias hati yang selamat (Q. S. asy-Sya’ara : 89).