Bioetika Sebagai Regulator Penggunaan Spesimen Hewan terhadap Suatu Eksperimen
Bioetika Sebagai Regulator Penggunaan Spesimen Hewan terhadap Suatu Eksperimen
Perkembangan ilmu sains pada zaman sekarang sangat pesat. Tidak dapat dipungkiri, zaman modern ini telah menghasilkan berbagai macam penemuan yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Hal ini terjadi dalam kurun waktu yang terbilang cukup singkat. Periode Renasissance ditandai sebagai awal berkembangnya ilmu sains ini. Dimana bangsa barat khususnya Eropa mengalami masa titik balik kemajuan setelah menghadapi masa kegelapannya. Banyak ilmuwan terkenal yang lahir pada zaman ini. Salah satunya adalah Darwin dan Linnaeus.
Ilmuwan-ilmuwan ini banyak melakukan riset agar memudahkan kehidupan manusia serta dapat mengembangkan teknologi terbarunya. Riset yang dilakukan ini nantinya akan melewati berbagai macam eksperimen sehingga menghasilkan sebuah penemuan. Namun juga dari penemuan itu juga akan berdampak pada lingkungan khususnya yang dilakukan terhadap makhluk hidup sekitar, seperti pada hewan.
Beberapa survei membuktikan bahwa tikus merupakan hewan yang paling sering digunakan sebagai percobaan eksperimen, baik oleh para ilmuwan, mahasiswa, maupun dokter-dokter yang mengujicobakan obat-obatnya terlebih dahulu sebelum dikonsumsi manusia. Kelinci, anjing, primata, dan kucing menjadi hewan lain yang sering digunakan untuk uji coba eksperimen oleh para ilmuwan. Hewan tersebut kemungkinan dipilih sebagai bahan uji coba dikarenakan waktu berkembangbiaknya terhitung singkat dan memproduksi banyak anak dalam sekali kelahirannya.
Berbagai macam penemuan dihasilkan dari melakukan riset terhadap hewan sebagai spesimen atau bahan eksperimennya. Penemuan seperti teknologi kloning salah satunya yang terkenal telah melibatkan banyak hewan sebagai bahan percobaannya. Meskipun pada akhirnya kloning dapat dikatakan sebagai penemuan dari eksperimen yang telah berhasil. Namun tidak dipungkiri, hal ini justru telah merubah tatanan kehidupan makhluk hidup di bumi.
Sekitar 276 percobaan gagal terhadap domba dolly sebagai spesimen percobaan merupakan bukti bahwa terkadang manusia mengorbankan makhluk hidup untuk kepentingannya sendiri. Etika terhadap makhluk hidup lain tentunya juga perlu diperhatikan disini. Bagaimana tidak, makhluk hidup lain juga dapat merasakan sakit yang sama seperti manusia seperti manusia karena mereka memiliki naluri yang sama juga. Apakah manusia akan kehilangan rasa empatinya terhadap hewan dengan mengatasnamakan ilmu sains?
Bioetika hadir sebagai regulator yang digunakan sebagai kebijakan dalam melakukan sebuah eksperimen penemuan. Bagaimana manusia tidak mengeksploitasi hewan sebagai bahan percobaannya saja, namun tetap memperhitungkan dampak terhadap spesies tersebut. Jangan sampai hewan tersebut mengalami penyiksaan terus menurus hingga mengalami kepunahan karena tangan manusia. Batasan-batasan dan aturan harus digunakan untuk minimal mengurangi eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap hewan percobaan. Prinsip-prinsip bioetika dapat digunakan sebagai solusinya.
Manfaat dan Bahaya. Salah satu prinsip yang harus digunakan sebagai acuan dalam penggunaan terhadap eksperimen hewan ini. Bagaimana manfaat dari eksperimen dengan hewan sebagai bahan uji cobanya? Apa bahayanya jika menggunakan hewan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus benar-benar dipikirkan oleh para ilmuwan sebelum melakukan eksperimen. Manfaat yang dihasilkan harus lebih banyak dibandingkan dengan bahayanya. Baik bahaya yang ditimbulkan kepada manusia maupun untuk hewan itu sendiri.
Spesies hewan yang digunakan juga harus mendapatkan manfaatnya. Hal ini dapat terlihat seperti saat hewan sakit, maka manusia juga harus merawatnya hingga sembuh, meskipun hewan tersebut hanya digunakan sebagai eksperimen. Jangan sampai saat hewan tersebut sakit, justru diganti dengan hewan lain yang sehat. Lalu hewan yang sakit tersebut ditinggalkan dan dibiarkan saja. Hal seperti ini justru akan membahayakan hewan tersbut. Seperti kata pepatah “Habis manis, sepah dibuang”. Tetap hewan harus diperlakukan dengan baik bagaimanapun keadaannya.
Perlindungan lingkungan, biosfer, dan keanekaragaman hayati. Prinsip lain ini perlu juga diperhatikan sebagai regulatornya. Ilmuwan harus memperhatikan akibat terhadap lingkungan, biosfer, dan keanekaragaman hayati. Penemuan baru yang ada harus mempertimbangkan hewan yang digunakan sebelumnya. Jika spesies tersebut memliki jumlah yang cukup banyak, maka boleh atau diizinkan menggunakan spesies hewan untuk bahan percobaan. Namun jika spesies hewan tersbut masuk kedalam hewan yang dilindungi atau hewan yang terancam punah, lebih baik tidak digunakan dan juga harus ada aturan dan regulasi untuk membatasi kebijakan sebagai perlindungan hewan yang terancam punah tersebut.
Undang-undang merupakan salah satu cara lain dalam perlindungannya. Ilmuwan dan pemerintah harus bersinergi untuk membuat kebijakan tersebut. Bukan untuk saling menguntungkan kedua belah pihak, namun kebijakan digunakan untuk pelestarian terhadap alam khususnya hewan. Spesies hewan harus tetap lestari melalui kebijakan atau aturan yang dibuat tersebut sebagai paying hukumnya. Sehingga nanti akan saling menguntungkan bagi semuanya, baik bagi ilmuwan, pemerintah, hewan, dan juga lingkungan.