Lebih Baik Dikira Miskin daripada Dikira Kaya
Apa pentingnya kita dianggap kaya oleh orang lain? Apa keuntungannya kita dikira kaya oleh tetangga kita?
Lebih Baik Dikira Miskin Daripada Dikira Kaya
Di era milenial dan teknologi seperti sekarang ini, manusianya cenderung berorientasi kepada materi. Hal ini terlihat dari gaya hidup yang hedonis dan konsumtif. Setiap orang berlomba-lomba mengumpulkan aset dan harta-benda, kepemilikan barang mewah, dan berbagai atribut duniawi lainnya. Mereka ingin terlihat “kaya”, atau setidaknya “dianggap” kaya.
Ia sengaja menunjukkan berbagai barang kepemilikan kepada orang lain. Ia berusaha agar orang lain tahu bahwa ia memiliki banyak sesuatu yang menurut mereka mahal, berharga, berkelas, bermerek, dan sebagainya. Seolah-olah dialah yang paling kaya, yang punya segalanya. Ia akan merasa senang dan puas ketika orang melihat dia dengan kaget, kagum, atau melontarkan pujian. Masih mending kalau dia memiliki kemampuan untuk membeli ini dan itu, berarti ia memang kaya.
Dimaklumi pula jika ada orang kaya yang suka pamer harta. Amat disayangkan jika dia sebenarnya tidak mampu, tapi memaksakan diri. Entah dengan hutang, kredit, atau menjual sawah. dalam hal hutang misalnya, ia berani hutang dalam jumlah banyak, tidak disesuaikan dengan kemampuan mengangsur atau nilai aset yang dijaminkan. Ia sampai tidak berpikir panjang, termasuk kemungkinan risiko yang bakal ia terima.
Ingin tampil kaya atau dianggap kaya adalah godaan dunia. Ia adalah hawa nafsu yang berasal dari setan. Jika orang telah terjerat oleh perangkap setan, apapun bisa ia lakukan untuk mewujudkan dorongan syahwat dunia. Tidak hanya berhutang atau kredit, ia pun rela berbuat kejahatan, seperti mencuri, korupsi, penipuan, dan semacamnya.
Apa pentingnya kita dianggap kaya oleh orang lain? Apa keuntungannya kita dikira kaya oleh tetangga kita? Mengapa kita lebih suka bersembunyi di balik topeng kepalsuan? Mengapa kita lebih suka berpura-pura?
Lebih Baik Dikira Miskin
Hanya sedikit orang yang lebih suka dikira miskin. Dikira rumahnya kecil dan sederhana, karena ia memang suka yang demikian, padahal ia mampu jika membangun rumah besar dan bagus. Dikira penghasilannya kecil dan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, padahal kebutuhannya nilainya di bawah penghasilannya, sehingga ia masih punya sisa untuk ditabung plus dia tidak punya hutang atau cicilan rutin.
Hanya karena berpakaian sederhana, dikira ia miskin. Tak jarang ia dicuekin ketika masuk ke toko besar atau ke kantor pemasaran rumah mewah, dikira tak mampu beli. Hanya karena tampil seadanya dan tidak terkesan mewah, customer service atau sales bersikap menyepelekan.
Intinya, kita seringnya melihat seseorang secara lahiriah semata. Dikira miskin sebenarnya ada untungnya juga. Ketika keluar dari bank misalnya, tidak ada yang menyangka kalau kita membawa uang yang cukup banyak. Tidak ada rampok, copet, atau jambret yang tertarik kepada kita. Yang mereka nilai berduit banyak ya orang yang berjas/berdasi, pakai mobil mewah.
Menurut saya pribadi, paling pas itu ya hidup sederhana dan apa adanya. Ada saat-saat kita mesti tampil bagus dan rapi. Boleh pula kita sesekali tampil yang keren dan “wah”. Orang Jawa bilang empan papan, pandai menempatkan diri. Yang tidak bagus itu kalau kita selalu tampil keren karena ingin dianggap orang kaya. Yang tidak bagus lagi adalah kita memaksakan diri untuk tampil keren, padahal sebenarnya kita tidak mampu untuk itu.
So, semua kembali kepada Anda sekalian.
Hidup adalah pilihan.....