Soal AKBP Brotoseno, Polri Disarankan Lakukan Analisa Resiko

Polri disarankan untuk melakukan analisa risiko terkait status AKBP Brotoseno.

Republika/ Wihdan Hidayat
Terpidana kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno. Polri disarankan untuk melakukan analisa risiko terkait status AKBP Brotoseno.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menganalisa mantan terpidana kasus korupsi AKBP Raden Brotoseno yang diduga masih dipertahankan sebagai anggota kepolisian. Reza mengingatkan institusi kepolisian harus punya standar etika, standar moralitas, dan standar ketaatan hukum pada level tertinggi.

Baca Juga


"Bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah 'bertoleransi' terhadap perwiranya yang melakukan korupsi," kata Reza saat dikonfirmasi Republika pada Rabu (1/6/2022).

Reza mengingatkan Polri semestinya melakukan analisa resiko terhadap penempatan AKBP Brotoseno di Korps Bhayangkara. Sebab menurutnya, perlu ditelaah lebih jauh soal peluang AKBP Brotoseno kembali melakukan kejahatannya.

"Seberapa jauh kemungkinan perwira polisi yang pernah dipidana dalam kasus korupsi akan mengulangi perbuatan jahatnya? Jawabannya semestinya diperoleh lewat risk assessment. Jadi, perlu dicek seserius apa Kemenkumham melakukan risk assesment terhadap para napi korupsi," ujar Reza.

Bila hasil risk assessment ternyata menyimpulkan risiko residivismenya tinggi, maka menurutnya ada pertaruhan yang terlalu mahal bagi Polri untuk mempertahankan AKBP Brotoseno.

"Terlebih ketika yang bersangkutan ditempatkan di posisi-posisi strategis yang memungkinkan ia menyalahgunakan lagi kewenangannya," lanjut Reza.

Berdasarkan riset, Reza menyebut tingkat pengulangan kejahatan kerah putih lebih tinggi daripada kejahatan dengan kekerasan. Sehingga menurutnya pantas kalau publik waswas AKBP Brotoseno akan melakukan kejahatan rasuah lagi nantinya.

Reza juga menyinggung Wall of Silence di organisasi kepolisian atau kebiasaan menutup-nutupi penyimpangan sesama polisi. "Pastinya, dari ribuan polisi yang disurvei, kebanyakan mengakui bahwa wall of silence berlangsung masif. Semakin parah, lebih dari separuh menganggap subkultur destruktif itu bukan masalah," tambah Reza.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler