Donor Sperma: Pria Inggris tak Bilang Punya Kelainan Genetik Fragile X, Ini Dampaknya

Pria Inggris dengan penyakit genetik sindrom Fragile X adalah 'ayah' dari 15 anak.

Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi). Pengadilan Inggris mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai latar belakang kesehatan pendonor sperma setelah munculnya kasus donor sperma dari pengidap penyakit genetik sindrom Fragile X..
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pengadilan Inggris mewanti-wanti masyarakat untuk mewaspadai latar belakang kesehatan pendonor sperma. Peringatan itu datang setelah sebuah kasus yang melibatkan sesosok pria yang mengiklankan dirinya sebagai pendonor sperma pribadi di Facebook.

Masalahnya, pria bernama James MacDougall itu tidak terbuka bahwa dirinya memiliki kelainan genetik sindrom Fragile X. Kondisi pria tersebut berpotensi menyebabkan keturunannya lahir dengan IQ rendah atau mengalami keterlambatan perkembangan.

MacDougall yang kini berusia 37 tahun sudah sering menjadi pendonor sperma untuk pasangan sesama jenis, tepatnya dia adalah "ayah" dari 15 anak. Kabar tentang MacDougall mengemuka karena dia mengajukan permohonan ke pengadilan keluarga di Derby, Inggris, untuk menghabiskan waktu dengan beberapa anaknya.

Pengajuan MacDougall ditolak sebab itu tidak termasuk dalam perjanjian awal dengan penerima donor spermanya. Lewat putusannya, Hakim Nathalie Lieven menyampaikan bahwa memberikan tanggung jawab sebagai orang tua kepada MacDougall akan membahayakan anak-anaknya.

Berdasarkan dokumen pengadilan, selama ini MacDougall gagal menjelaskan kondisi kesehatannya kepada para penerima donor.  MacDougall dianggap mengambil keuntungan dari kerentanan para perempuan muda yang punya keinginan kuat untuk memiliki anak.

Hakim juga mengumumkan nama MacDougall kepada publik sehingga calon orang tua akan mengetahui sejarahnya jika mereka melakukan pencarian di Google. Lieven tidak mau ada "korban" penerima donor sperma lain yang tidak mengetahui secara pasti latar belakang medis pendonor.

"Pendekatan anonimitas di pengadilan keluarga tidak boleh digunakan sebagai cara bagi orang tua untuk berperilaku dengan cara yang tidak dapat diterima dan kemudian bersembunyi di balik jubah anonimitas," kata Lieven, dikutip dari laman Insider, Jumat (3/6/2022).

Kasus MacDougall melibatkan tiga pasangan ibu di awal usia 20-an. Satu pasangan memiliki dua anak dari sperma MacDougall dan dua pasangan lain masing-masing memiliki satu anak dengan sperma MacDougall.

Setelah mendonorkan spermanya, MacDougall menginginkan hak orang tua atas anak-anak tersebut, sedangkan anak-anak dari penerima donor spermanya yang lain tidak. Dokumen pengadilan menggambarkan hubungan yang rumit antara para ibu yang terlibat dengan MacDougall.

Baca Juga


Ibu dua anak berinisial SW mengatakan kepada pengadilan bahwa anaknya yang berusia tiga tahun dari sperma MacDougall menyandang masalah nonverbal dan memiliki perilaku menantang. MacDougall sempat menghabiskan waktu bersama putranya dan tinggal bersama keluarga SW selama lockdown Covid-19.

Pada Juni 2020, SW meminta MacDougall pergi karena pria itu menunjukkan perilaku yang tidak pantas seperti melakukan rayuan seksual. Ibu kedua berinisial EG mengaku dirinya tidak membaca perjanjian dan kondisi MacDougall dengan benar.

Ibu ketiga yang berinisial KE mengatakan MacDougall telah mendapat akses hukum ke putra kandungnya, namun balita itu baru-baru ini mengalami memar yang tidak disengaja saat bersama MacDougall. Pengadilan masih menyelidiki tentang memar tersebut.

Donor sperma pribadi jauh lebih berisiko dibandingkan prosedur donor di bank sperma karena syaratnya tak sebanyak para pendonor di bank sperma yang harus melalui berbagai tes medis. Di sisi lain, donasi sperma pribadi menuntut biaya yang jauh lebih sedikit untuk para calon orang tua.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler