Penyebab Kualitas Udara Jakarta Terburuk Dunia Menurut BMKG
BMKG menilai ada empat faktor penyebab buruknya kualitas udara di Jakarta.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, ada empat faktor penyebab buruknya kualitas udara Jakarta dalam beberapa hari terakhir. Di sisi lain, BMKG mengingatkan masyarakat untuk menggunakan masker guna mengurangi paparan polutan.
Untuk diketahui, Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di antara kota-kota besar di dunia, menurut data jaringan pemantau kualitas udara real-time IQAir dalam beberapa hari terakhir.
Menurut catatan BMKG mencatat, memang terjadi peningkatan konsentrasi partikel debu halus (PM2.5) dalam beberapa hari terakhir di Jakarta. Konsentrasi PM.25 di Ibu Kota mencapai level tertinggi pada angka 148 mikrogram per kubik. Ini tergolong kualitas udara tidak sehat.
"Tingginya konsentrasi PM2.5 dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat atau gelap," kata Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko dalam siaran persnya, Ahad (19/6).
Urip mengatakan, peningkatan konsentrasi PM2.5 di wilayah Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, karena adanya emisi, baik dadi sumber lokal seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat Jakarta.
Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5.
Kedua, adanya pergerakan angin mengarah ke Jakarta. Sebab, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
Adapun pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, sehingga membuat PM2.5 terakumulasi di DKI.
Ketiga, tingginya kelembaban udara. Peningkatan konsentrasi PM2.5 berbanding lurus dengan kadar uap air di udara, yang dinyatakan oleh parameter kelembapan udara relatif.
Pada beberapa hari terakhir, tingginya kelembapan udara relatif menyebabkan peningkatan proses adsorpsi (perubahan wujud dari gas menjadi partikel).
"Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara," kata Urip.
Keempat, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring.
Urip menjelaskan, PM2.5 merupakan salah satu polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan ukuran yang sangat kecil, tidak lebih dari 2,5 mikrometer, PM2.5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan, dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru.
Bahkan, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.
"Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk dapat mengurangi aktivitas di luar ruangan dan menggunakan pelindung diri seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara," ujarnya.