Para Pemimpin G7 Siapkan Sanksi Baru untuk Rusia
Negara G7 menegaskan komitmen mereka untuk mendukung Ukraina dalam jangka panjang.
REPUBLIKA.CO.ID, ELMAU -- Para pemimpin negara Kelompok Tujuh (G7) menegaskan komitmen mereka untuk mendukung Ukraina dalam jangka panjang. Mereka berencana menetapkan batasan harga minyak Rusia, menaikkan tarif barang-barang Rusia, dan memberlakukan sanksi baru lainnya.
Para pemimpin negara G7 melakukan panggilan video dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Dalam pembicaraan itu, Zelenskyy secara terbuka khawatir, Barat mulai muak dengan biaya perang yang berkontribusi pada melonjaknya harga energi dan kenaikan harga barang-barang penting di dunia.
Para pemimpin G7 sedang menyelesaikan kesepakatan untuk menetapkan batasan harga minyak Rusia dalam konferensi tingkat tinggi di Pegunungan Alpen Jerman. Menurut seorang pejabat senior pemerintah yang berbicara dengan syarat anonim, rincian tentang batasan harga serta dampaknya terhadap ekonomi Rusia, akan diselesaikan oleh para menteri keuangan G7 dalam beberapa minggu atau beberapa bulan mendatang.
Negara G7 juga akan berkomitmen untuk menaikkan tarif impor Rusia ke negara mereka. Amerika Serikat (AS) mengumumkan tarif baru pada 570 kategori barang, serta penggunaan sanksi untuk menargetkan rantai pasokan pertahanan Rusia.
Presiden AS Joe Biden diperkirakan akan mengumumkan bahwa, AS membeli NASAMS yaitu sistem anti-pesawat yang dikembangkan Norwegia. Sistem ini menyediakan pertahanan jarak menengah hingga jarak jauh. Sistem NASAMS serupa dengam sistem yang digunakan oleh AS untuk melindungi wilayah udara sensitif di sekitar Gedung Putih dan Gedung Capitol di Washington.
Seorang sumber mengatakan, bantuan tambahan AS kepada Ukraina diantaranya mengirimkan lebih banyak amunisi untuk artileri, serta radar kontra-baterai, untuk mendukung upaya Kiev melawan serangan Rusia di Donbas. Biden juga mengumumkan komitmen AS senilai 7,5 miliar dolar AS untuk membantu pemerintah Ukraina memenuhi pengeluarannya.
Para pemimpin G7 memulai sesi konferensi pada Senin (27/6) dengan fokus pada persoalan Ukraina. Kemudian, mereka akan bergabung dengan para pemimpin dari lima negara berkembang yang demokratis yaitu India, Indonesia, Afrika Selatan, Senegal, dan Argentina untuk diskusi tentang perubahan iklim, energi, dan isu-isu lainnya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan, kebijakan negara-negara G7 terhadap Ukraina sangat selaras. Namun mereka juga harus mengambil keputusan dengam hati-hati.
"Kami mengambil keputusan yang sulit, bahwa kami juga berhati-hati, dan kami akan membantu Ukraina sebanyak mungkin tetapi kami juga menghindari bahwa akan ada konflik besar antara Rusia dan NATO," ujar Scholz.
Pekan lalu Scholz, mengatakan, dia ingin membahas garis besar "rencana Marshall untuk Ukraina" dengan para pemimpin G7. Hal ini mengacu pada rencana yang disponsori AS untuk membantu menghidupkan kembali ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II.
"Membangun kembali Ukraina akan menjadi tugas dari generasi ke generasi," ujar Scholz.
Negara G7 sudah berkomitmen untuk membantu membiayai kebutuhan mendesak Ukraina. Bulan lalu, para menteri keuangan dari kelompok G7 setuju untuk memberikan bantuan ekonomi senilai 19,8 miliar dolar AS kepada Kiev. Bantuan ini bertujuan untuk menjaga layanan dasar tetap berfungsi.
Seorang pejabat senior pemerintah AS yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, AS dan Eropa selaras dalam tujuan mereka untuk mengakhiri konflik melalui negosiasi. Scholz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mencoba memfasilitasi hal tersebut melalui percakapan aktif dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Zelenskyy. Sementara Washington telah menghentikan pembicaraan signifikan dengan Rusia dan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas medan perang Ukraina sebanyak mungkin, sehingga posisi akhirnya di meja perundingan lebih kuat.
Para pemimpin G7 yang terdiri dari AS, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Kanada, dan Jepang berharap dapat membuat beberapa kemajuan untuk memperkuat dukungan bagi Ukraina ketika bertemu dengan lima negara tamu. Pemimpin G7 berharap dapat mengarahkan rekan-rekan mereka dari lima negara tamu lebih dekat ke pandangan Barat tentang sanksi terhadap Rusia.