IDAI: Campak, Rubella, dan Difteri Masih Jadi Ancaman

Campak, rubella, dan difteri masih mengancam di tengah pandemi Covid-19.

Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin campak rubella kepada siswa SD kelas 1 saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SD Negeri 2 Sesetan, Bali, Rabu (15/9/2021). Di tengah pandemi Covid-1, campak, rubella, dan difteri masih mengancam.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Satgas Imunisasi Anak PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Dr dr Soedjatmiko SpA(K) mengatakan bahwa campak, rubella, dan difteri masih menjadi ancaman bagi anak-anak. Ia menyebut, ketiga penyakit tersebut harus segera dicegah penyebarannya melalui imunisasi.

"Kita jangan lengah, jangan terlalu sibuk dengan Covid-19, karena selalu ada campak, rubella, dan difteri yang setiap tahun mengancam anak, cucu, adik, dan ponakan kita," kata Prof Soedjatmiko saat konferensi pers virtual "Ayo Sukseskan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) 2022" pada Selasa (28/6/2022).

Baca Juga



Di 2021, menurut Prof Soedjatmiko, ada 25 provinsi yang meningkat kasus penyakit campak dan rubella. Di tahun 2022, sejauh ini ada 14 provinsi yang mengalaminya.

"Kalau tidak segera dicegah maka bisa menyebar lebih luas lagi," ujar dia.

Prof Soedjatmiko menjelaskan, bahaya campak tak hanya demam, batuk, pilek, sesak, dan bintik merah. Campak juga bisa mengakibatkan pneumonia atau radang paru, kejang, radang, otak, bahkan kematian.

Bahkan, menurut Prof Soedjatmiko, sebanyak 2.853 bayi mengalami radang paru. Lalu, 571 bayi mengalami kejang dan radang otak karena campak selama periode 2012 hingga 2017.

"Jadi, penyakit campak berbahaya. Bukan sekadar merah-merah, tapi kalau menyerang otak akan menyebabkan radang otak dan meninggal, sedangkan kalau sembuh dia akan cacat," kata Prof Soedjatmiko.

Sementara rubella, menurut Prof Soedjatmiko, pada periode 2012-2018 di rumah sakit tipe A, sebanyak 1.660 bayi cacat akibat penyakit tersebut. Saat rubella menyerang ibu hamil, janin yang dikandungnya mengalami kelainan jantung (79,5 persen), buta akibat katarak (67,6 persen), keterbelakangan mental (50 persen), otak tidak berkembang (48,6 persen), dan tuli (31,1 persen).

"Kalau dia lahir cacat karena rubella, maka sampai umur 8 tahun dibutuhkan biaya Rp600 juta. Hanya sebagian kecil yang ditanggung JKN dan BPJS. Jadi bayangkan betapa berat bebannya," ujar Prof Soedjatmiko.

Sementara itu, untuk kasus difteri, Prof Soedjatmiko mengatakan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan pada Februari 2022, ada 23 kabupaten dan kota di 10 provinsi yang terdampak penyakit tersebut. Menurutnya, difteri jika menyerang tenggorokan maka akan menyumbat saluran napas.

Selain itu, kuman difteri juga dapat mengeluarkan racun yang akan merusak otot jantung. Penyebab meninggalnya ada dua kemungkinan, karena sumbatan jalan nafas atau otot jantungnya rusak.

"Penyakit ini mengenai sampai umur remaja, 15 tahun, bahkan dewasa juga bisa kena," kata Prof Soedjatmiko.

Prof Soedjatmiko mengatakan, dampak fatal dari penyakit-penyakit tersebut dapat dialami jika seseorang tidak pernah melakukan imunisasi atau tidak melengkapi imunisasi. Hanya saja, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, cakupan imunisasi campak, rubella, dan difteri menurun drastis.

Oleh karena itu, Prof Soedjatmiko mengajak para orang tua untuk melengkapi imunisasi anak agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan termasuk kejadian luar biasa (KLB) dari penyakit-penyakit tersebut.

"Bayangkan kalau misalnya nanti sekolah tatap muka, sebagian besar tidak terlindungi oleh imunisasi, maka akan terjadi KLB yang hebat sesudah Covid-19," ujarnya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler