Anggota DPR Tegaskan tak Setuju Penggunaan Aplikasi MyPertamina untuk Beli BBM Bersubsidi

Anggota Komisi VII DPR mengkritik penggunaan aplikasi MyPertamina karena tak tepat

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pengendara kendaraan roda empat menunjukkan aplikasi MyPertamina saat membeli BBM subsidi jenis pertalite di SPBU Pertamina Riau, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (1/7/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga melakukan uji coba pendaftaran serta pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar menggunakan situs web atau aplikasi MyPertamina pada kendaraan roda empat di 11 daerah di lima provinsi mulai hari ini (1/7/2022). Foto: Republika/Abdan Syakura
Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Paramitha Widya Kusuma, tidak setuju penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Ia yakin penggunaan aplikasi tersebut hanya akan membuat masyarakat kecil sebagai orang yang berhak menerima subsidi menjadi kesulitan untuk mendapatkan haknya karena kebingungan dengan sistem itu.

Baca Juga


"Pada dasarnya saya tidak setuju dengan segala sesuatu yang membuat rakyat kecil ribet dan susah, apalagi untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi hak bagi mereka," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (1/7/2022).

Menurutnya, akar permasalahan dari penggunaan aplikasi ini ada dua. Pertama, subsidi tidak tepat sasaran. "Misalnya, bensin bersubsidi tidak sampai ke yang berhak, makanya mau pakai aplikasi baru lagi. Padahal dulu sudah ada program digitalisasi di lebih dari 5.500 SPBU. Lalu apa hasilnya digitalisasi SPBU itu, berarti kan selama ini digitalisasi tidak benar-benar dijalankan dengan baik. Padahal digitalisasi itu sudah memakan dana triliunan," jelasnya.

Menurut dia ketimbang memakai aplikasi baru, Pertamina harusnya mengoptimalkan penggunaan digitalisasi yang sudah dipasang ketika Dirut Patra Niaga Mas’ud Khamid masih menjabat. Paramitha mengatakan tujuan digitalisasi itu sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan.

"Kalau saja penerapan digitalisasi itu dilakukan dengan baik, maka sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar, dan Pertamax sudah ada. Jadi tidak perlu lagi pakai aplikasi baru untuk beli Pertalite. Ini terkait dengan akar masalah yang kedua yakni soal pengawasan," tegas politikus PDI-Perjuangan itu.

Terkait soal pengawasan, yang bertanggung jawab adalah BPH Migas, bukan Pertamina. Menurutnya, Pertamina hanya menjalankan penugasan untuk mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil.

"Berarti selama ini BPH sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Yang memutuskan kuota BBM untuk tiap daerah itu kan BPH Migas, ketika mereka sudah bagikan kuotanya,kenapa mereka tidak bisa mengawasi?" ujarnya.

Sejatinya mereka harus bertugas sesuai tupoksi. Dari setiap liter BBM yang dibeli konsumen, ada fee yang didapat oleh BPH Migas. "Berarti selama ini masyarakat selalu bayar fee ke BPH Migas dari tiap liter pembelian BBM tapi kok BPH Migas enak sekali kerjanya, karena berarti fee yang kita bayarkan sia-sia," kata Paramitha.

Menurut dia solusinya dua. Pertama, harus maksimalkan pemanfaatan digitalisasi. Sudah lebih dari 90% SPBU yang dipasang alat digitaliasasi di seluruh Indonesia tapi tidak dijalankan dengan baik. "Jangankan di Jakarta, di Jateng, Jatim, Sumatra itu banyak temuan digitalisasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Itu saja dibetulkan pelaksanaannya," tegasnya.

"Kedua, BPH Migas tolong bekerja sesuai dengan tupoksi. Ini kalau aplikasi MyPertamina tersebut gagal lagi dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang berhak, pasti yang diserang nanti Pertamina dan Patra Niaga, bukan BPH Migas. Kalau ada kelangkaan juga, pasti yang di-bully Pertamina. Padahal BPH Migas yang bertanggung jawab sesuai dengan Undang-undang," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler