Setelah Rahwana, Rajajapaksa Nasibnya Pun Tragis di Sri Lanka
Nasib Tragis Keluarga Setengah Dewa di Negeri Rahwana
Hari Rabu 13 Juli sebelum fajar, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dan istrinya berjalan cepat, nyaris setengah berlari, menuju pesawat Angkatan Udara (AU) yang akan membawanya ke Maladewa.
"Pelarian itu mewakili kejatuhan sebuah keluarga setelah dua dekade memerintah Sri Lanka dengan tangan besi," kata Ganeshan Wignaraja, rekan peneliti senior di think tank Inggris ODI Global.
Sesuatu yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh siapa pun di Sri Lanka, bagaimana seorang presiden yang nyaris mistis, pahlawan perang saudara, dan, dipuja seperti manusia setengah dewa, harus lari dari masyarakatnya.
Rajapaksa memang harus lari ke luar negeri, setelah ribuan orang menyerbu istananya, menduduki, dan menikmati semua fasilitas mewah. Ada yang bernyanyi di ruang makan kepresidenan, berenang di kolam rekang, atau melompat-lompat di atas kasur sangat empuk di kamar tidur presiden.
Keluarga Rajapaksa
Gotabaya bukanlah anggota keluarga Rajapaksa pertama yang menjadi presiden. Sebelumnya, Mahinda Rajapksa memimpin negara itu.
Di Sri Lanka, Keluarga Rajapaksa dianggap sebagai pahlawan perang. Ia terpilih sebagai presiden tahun 2005, dan mencapai status nyaris legendaris tahun 2009, ketika mengakhiri perlawanan 26 tahun pemberontak Macan Tamil Eelam.
Kemenangan itu memberi Mahinda Rajapaksa modal politik yang tak habis dimanfaatkan. Selama sepuluh tahun ke depan, Mahinda menikmati kekuasaan dan dihormati mayoritas Buddha Sinhala.
Mahinda populer sebagai 'appachchi', atau 'bapak bangsa'. Orang-orang yang lewat di depannya akan membungkuk, dan takut kepadanya.
Mahinda Rajapaksa menjalankan Sri Lanka seperti bisnis keluarga. Ia menunjuk Gotabaya menempati posisi kunci, yaitu menteri pertahanan, Basil Rajapaksa sebagai menteri pembangungan ekonomi, dan Chamal Rajapaksa sebagai ketua parlemen.
Karena semua Rajapaksa dianggap sebagai pahlawan, tidak ada yang salah dengan semua penunjukan itu. Sri Lanka menjadi negara Keluarga Rajapaksa, dengan semua bisnis terkonsentrasi di tangan satu keluarga.
Ada keluhan tentang nepotisme, tapi anggota keluarga Rajapaksa tetap populer. Selama bertahun-tahun Sri Lanka mengalami pertumbuhan ekonomi, yang sebagian besar didorong pinjaman luar negeri untuk mendanai layanan publik.
Pembantai Warga Sipil
Bagai Mahinda Rajapaksa, perang saudara sebenarnya mengandung dua sisi bertolak belakang. Pertama, landasan untuk membangun legenda-nya. Kedua, tanda-tanda tersembunyi akan kejatuhannya.
Laporan PBB tahun 2011 menyebutkan pasukan pemerintah Sri Lanka bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM); penembakan disengaja terhadap warga sipil, eksekusi singkat, pemerkosaan massal, dan menghalangi pengiriman makanan dan obat-obatan untuk menjangkau masyarakat terkena dampak perang.
Pemerintah Mahinda Rajapaksa membantah keras semua tuduhan itu. Namun, masalah semakin menumpuk.
Lawan politik menuduh Mahinda Rajapaksa memberi persetujuan diam-diam kepada kelompok-kelompok Buddha rayap kanan, yang membuat minoritas Tamil Sri Lanka dan Muslim hidup dalam ancaman kekerasan.
Bukti akan semua ini terlihat jelas di awal pandemi Covid-19. Pemerintah Sri Lanka memutuskan membakar semua mayat korban Covid-19, termasuk Muslim, dan memicu kritik keras dari banyak negara.
Ketika tanda-tanda masalah ekonomi muncul, kemarahan terhadap kroniisme Mahinda Rajapaksa menjadi nyata. Tahun 2015 Sri Lanka berutang kepada Cina 8 miliar dolar. Saat itu pejabat pemeirntah Sri Lanka memperkirakan akumulasi utang luar negeri, ke Cina dan negara lain, akan menghabiskan 95 persen produk domestik bruto (PDB).
Tahun itu, Mahinda Rajapaksa kalah dalam pemilihan presiden. Namun, yang kalah adalah Mahinda, bukan Keluarga Rajapaksa.
Rajapaksa Bangkit
April 2019 militan Islam menggelar serangkaian pemboman yang menewaskan 290 orang di gereja-gereja dan hotel-hotel mewah. Sri Lanka panik, dan entah bagaimana berkumpul kembali ke satu keluarga yang mereka kenal, yaitu Rajapaksa.
November 2019, Gotabaya Rajapaksa terpilih sebagai presiden baru. Seperti Mahinda, Gotabaya melihat negara telah kembali ke keluarga, dan diurus sebagai keluarga.
"Rakyat sekali lagi memaksakan kepercayaan penuh mereka kepada kami," kata Mahinda Rajapaksa setelah kemenangan telak dalam pemilihan parlemen setahun kemudian.
"Kami akan memenuhi aspirasi mereka dan akan selalu menghargai kepercayaan yang mereka berikan kepada kami," lanjut Mahinda.
Muncul pertanyaan siapa yang yang mengembom gereja-gereja di Hari Paskah itu? Kelompok Muslim, atau?
Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Gotabaya segera membentuk pemerintahan keluarga, dengan Mahinda Rajapaksa ditunjuk menempati posisi penting.
Namun keretakan mulai muncul ketika pertanyaan tentang manajemen ekonomi terus berkembang. Para ahli mengatakan masalah ekonoi Sri Lanka tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah, tapi diperburuk oleh serangkaian keputusan yang buruk.
Murtaza Jafferjee, ketua lembaga think tank Advocata Institute, mengatakan pinjaman besar-besaran untuk mendanai layanan publik dibarengi dengan pukulan terhadap ekonomi Sri Lanka; bencana alam dan lainnya.
Menghadapi defisit besar-besaran, Gotabaya Rajapaksa memangkas pajak untuk merangsang ekonomi, dan gagal. Bahkan langkah itu menjadi bumerang, karena memukul pendapatan pemerintah.
Sri Lanka menjadi negara gagal, yang membuatnya kehilangan akses ke pasar luar negeri. Sri Lanka juga harus menggunakan cadangan devisa untuk melunasi utang.
Berikutnya, Sri Lanka tak cadangan devisa lagi untuk mengimpor bahan bakar. Terjadi kelangkaan bahan bakar, dan harga menggila.
Di jalan-jalan, penduduk Sri Lanka yang dulu memuja Keluarga Rajapaksa menemukan diri tidak bisa memberi makan keluarga dan mengisi bahan bakar.
Mereka mengantri berjam-jam, seraya memaki Keluarga Rajapaksa, untuk mendapatkan bahan bakar dan makanan. Mereka tak takut bentrok dengan polisi dan militer.
Selama berbulan-bulan mereka yang marah turun ke jalan, memaki Mahinda dan Gotabaya tak becus mengelola ekonomi. Keluarga Rajapaksa melakukan perlawanan, dengan membuat aksi protes tandingan tapi tak bertahan lama.
Selama beberapa pekan Gotabaya Rajapaksa bertahan. Dia tidak ingin Dinasti Rajapaksa jatuh, apalagi terusir. Namun dia tak punya pilihan ketika rumah mewah yang digunakan menjamu pialang kekuasaan digeruduk ribuan peduduk.
"Anda memiliki gagasan bahwa elit penguasa sangat korup, hidup mewah, sementara orang biasa hidup dalan kesulitan besar. Itulah Sri Lanka," kata Wignaraja.