Ada Apa di Balik Isu Legalisasi Ganja Medis?
Penggunaan ganja untuk epilepsi masih terbatas.
Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak akhir Juni lalu, isu legalisasi ganja untuk keperluan medis mengemuka. Itu terjadi setelah seorang ibu menjadi viral di media sosial karena membawa poster bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis."
Pro dan kontra pun muncul sebagai respons atas permintaan Santi Warastuti, ibu dengan anak cerebral palsy yang juga kerap mengalami kejang epilepsi. Ibu asal Sleman, Yogyakarta itu sudah sejak 2020 menyuarakan kebutuhan anandanya akan terapi minyak biji ganja alias Cannabidiol (CBD) oil.
Santi terinspirasi dari ibu lain yang anaknya mengalami kemajuan setelah menjalani terapi dengan minyak biji ganja. Anak ibu tersebut diterapi di Australia.
Santi bersama ibu-ibu lainnya telah mengajukan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi agar ganja medis menjadi legal. Berdasarkan undang-undang yang ada, ganja termasuk narkotika golongan I karena memiliki kadar ketergantungan tinggi.
Ganja tidak dapat digunakan untuk pengobatan medis atau terapi. Seperti narkotika golongan I lainnya, ganja hanya diizinkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan atau penelitian.
Perjuangan Bu Santi hampir mirip dengan kisah nyata John dan Aileen Crowley yang diangkat ke layar lebar melalui film Extraordinary Measures (2010). Dua dari tiga anak Crowley mengidap Pompe disease, penyakit kelainan genetik nan langka yang biasanya menewaskan anak-anak sebelum mereka sempat berulang tahun ke-10.
Perjuangan keluarga Crowley mengusahakan penemuan enzim untuk mengobati Pompe disease awalnya dibukukan oleh jurnalis peraih Pulitzer, Geeta Anand, dengan judul "The Cure: How a Father Raised $100 Million—and Bucked the Medical Establishment—in a Quest to Save His Children". Jalan John tak mulus untuk membuat penyakit kelemahan otot anaknya ada obatnya.
John harus membuat yayasan, menggalang dana, dan mendirikan perusahaan agar peneliti yang menjadi tumpuan harapannya bisa melakukan uji coba klinis terapi penggantian enzim. Penelitian itu akhirnya berhasil.
Kedua buah hati John dan Aileen selamat meskipun tetap harus berkursi roda. Telah disetujui Food and Drug Administration di Amerika Serikat dan European Medicines Agency, terapi penggantian enzim itu pun telah menolong banyak anak lainnya.
Sejatinya, kondisi anak Bu Santi berbeda dengan putra-putri Crawley. Penyakit Pompe tadinya belum ada obatnya.
Sementara itu, cerebral palsy memang tidak bisa dipulihkan 100 persen, tetapi ada terapi multidisiplin yang bisa membantu meningkatkan kualitas hidup penyandangnya. Kejang epilepsi pun sudah cukup banyak alternatif obatnya.
Persoalannya, mencarikan obat antikejang yang tepat untuk setiap anak memang tidak mudah. Apalagi ketika tubuh anak tidak merespons pengobatan dengan baik atau mengembangkan alergi obat.
Itu pentingnya konsultasi dengan dokter yang mumpuni. Perlu kerja sama yang kompak antara dokter anak dengan orang tua agar anak mendapatkan pengobatan terbaik dari alternatif yang ada.
Menurut saya, dokter pintar saja belum cukup membantu. Orang tua memerlukan dokter yang ramah, mau mendengarkan dengan saksama, mau mencoba mengerti kekhawatiran ayah dan ibu pasien ciliknya, serta mau menjelaskan dengan detail tentang kondisi anak dan rencana pengobatan berikut kemungkinan efek sampingnya.
Mempermudah akses anak berkebutuhan khusus terhadap pengobatan dan terapi juga tidak kalah esensial. Akan sangat memberatkan jika itu tidak ditanggung BPJS.
Di samping itu, orang tua terkadang juga memerlukan dokter yang bisa ditanya-tanyai di luar ruang praktik. Entah dengan berbicara lewat telepon, aplikasi perpesanan, atau media sosial. Dukungan seperti ini penting agar ayah dan ibu mendapatkan informasi yang benar soal penanganan kondisi anaknya.
Kurangnya dukungan rawan membuat orang tua tersesat dalam rimba pencarian di internet. Testimoni dari sana-sini juga bisa menimbulkan harapan semu akan kesembuhan anak.
Di sisi lain, merawat anak berkebutuhan khusus juga kerap terasa seperti menaiki rollercoaster. Hati orang tua mana yang tak jatuh ketika melihat anaknya mengalami kemunduran setelah menjalani terapi demi terapi serta beragam pengobatan.
Bisa jadi, bukan ganja medis yang diperlukan melainkan perhatian ekstra serta empati dari dokter yang merawat dan kelompok pendukung (support group) untuk mencarikan solusi sekaligus menguatkan orang tua. Dokter juga perlu menjelaskan alasan ganja medis bukan jawabannya.
Seperti yang disampaikan ahli neurologi anak dr Setyo Handryastuti, tidak ada bukti ilmiah yang mengonfirmasi bahwa ganja bisa mengurangi kekakuan otot serta mengatasi masalah tidur pada anak dengan cerebral palsy. Penggunaan ganja untuk epilepsi pun masih terbatas, yakni hanya pasien dengan kondisi berat yang bisa menggunakannya.
Itupun dibayangi potensi efek samping gangguan pencernaan hingga kemungkinan adiksi. Apalagi, belum ada studi yang meninjau efek samping jangka panjang penggunaan ganja medis.