Kontak Erat Jadi Sumber Utama Penularan Cacar Monyet, Termasuk Melalui ASI
Masa inkubasi cacar monyet berlangsung dengan dua periode.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Amri Amrullah
Cacar monyet atau monkeypox telah ditetapkan sebagai kondisi kesehatan darurat global oleh lembaga kesehatan dunia (WHO). Meski masih belum terdeteksi di Indonesia, namun kasus cacar monyet sudah ditemukan di negara tetangga Singapura. Sebanyak 75 negara juga sudah melaporkan lebih dari 16 ribu kasus terkonfirmasi.
Dokter Penyakit Dalam di Rumah Sakit St Carolus Salemba, Robert Sinto mengatakan, penyakit yang disebabkan oleh virus ini memang bisa menular melalui kontak erat dan cairan. Bahkan kemungkinan bisa menular melalui air susu ibu kepada bayi mereka.
Namun, hal ini masih dilakukan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya, ia meminta kepada ibu yang sedang menyusui sebaiknya tidak memberikan ASI mereka jika terbukti sedang terkena cacar monyet.
"Karena sama-sama melewati aliran darah (seperti yang ditemukan di sperma), virus ini mungkin bisa ditularkan dari ASI. Jadi untuk ibu yang tertular, agar tidak memberikan ASI-nya," kata Robert saat hadir dalam update penyakit Monkeypox yang digelar Kementerian Kesehatan secara daring, Rabu (27/7/2022).
"Dan untuk ASI perah juga tidak boleh, jadi selama menderita cacar monyet lebih baik setop memberi ASI sama sekali," sambungnya.
Ia meminta masyarakat selalu menjaga diri dan berperilaku hidup sehat agar tidak terpapar penyakit ini. Pencegahan bisa dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan dan tidak melakukan kontak erat atau kontak langsung dengan penderita.
"Meskipun sampai saat ini tidak ditemukan di Indonesia, pencegahan tetap penting dilakukan. Dimulai dari diri sendiri dengan selalu taat protokol kesehatan," kata dia.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril mengungkapkan gejala khas yang bisa terlihat jika seseorang terinfeksi cacar monyet. Syahril mengatakan, masa inkubasi cacar monyet berlangsung 5-13 hari atau 5-21 hari dengan dua periode.
Pertama, masa inkubasi (0-5) hari memiliki gejala demam tinggi diikuti dengan sefalgia berat (nyeri kepala), limfadenopati, myalgia (nyeri otot), dan astenia (kekurangan energi). Kedua, masa erupsi (1-3) hari pasca demam terjadi ruam pada kulit.
Ruam 95 persen berada di wajah, telapak tangan, dan kaki 75 persen. Mukosa 20 persen, alat kelamin 30 persen, selaput lendir mata 20 persen.
"Kalau ditanya gejala yang khas dari cacar monyet ini ada demam tinggi di atas 38 derajat celcius. Lalu merasakan sakit kepala yang berat. Juga ada limfadenopati yaitu benjolan di leher, ketiak, ataupun di selangkangan," kata Syahril.
Syahril memastikan, hingga kini kasus monkeypox di Indonesia masih belum ada. Namun, sebelumnya ada 9 kasus dugaan yang kemudian dilakukan tes dan hasilnya negatif monkeypox.
"Situasi di Indonesia Alhamdulillah dari pertama kali ada Inggris diumumkan itu sampai dengan hari ini, kita belum ada kasus-kasus. Cuma kemarin itu ada 9 kasus yang kita suspek tapi ternyata hasilnya negatif, tidak ditemukan," ujarnya.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Adityo Susilo mengatakan pada penularan antar manusia diduga dapat terjadi sebagai akibat dari kontak erat dengan pasien yang terinfeksi secara langsung (direct close contact). Caranya melalui paparan terhadap sekresi saluran napas yang terinfeksi, kontak dengan lesi kulit pasien secara langsung, maupun berkontak dengan objek yang telah tercemar oleh cairan tubuh pasien.
Selain itu, lanjut Adityo, transmisi secara vertikal dari ibu ke janin melalui plasental (infeksi cacar monyet kongenital) juga dimungkinkan. Periode inkubasi cacar monyet berkisar antara 5-21 hari dengan rerata 6-16 hari. Setelah melewati fase inkubasi, pasien akan mengalami gejala klinis berupa demam tinggi dengan nyeri kepala hebat, limfadenopati, nyeri punggung, nyeri otot dan rasa lemah yang prominen.
Dalam 1-3 hari setelah demam muncul, pasien akan mendapati bercak-bercak pada kulit, dimulai dari wajah dan menyebar ke seluruh tubuh. Bercak tersebut terutama akan ditemukan pada wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Seiring waktu bercak akan berubah menjadi lesi kulit makulopapuler, vesikel dan pustule yang dalam 10 hari akan berubah menjadi koreng.
Dr Adityo yang juga merupakan pengurus pusat PETRI (Perhimpunan Kedokteran Tropis dan Penyakit Infeksi Indonesia) menerangkan bahwa hingga saat ini masih belum ada pengobatan yang spesifik untuk infeksi cacar monyet. Meski demikian, di masa lalu, vaksinasi terhadap penyakit cacar atau smallpox yang disebabkan oleh karena infeksi virus Variola yang dinyatakan telah tereradikasi secara global sejak tahun 1980.
Adityo mengatakan vaksinasi dapat memberikan efektivitas proteksi sebesar 85 persen untuk mencegah infeksi cacar monyet. Ia juga mengingatkan dengan ditemukannya kasus cacar monyet di Singapura, maka masyarakat juga perlu mewaspadai terhadap kemungkinan masuknya virus ini di Indonesia.
"Hal ini menjadi lebih penting terutama pada populasi khusus oleh karena risiko fatalitas cacar monyet ini dikatakan lebih tinggi pada kelompok anak-anak, ibu hamil, lansia, dan orang dengan imunitas rendah (imunosupresi)," paparnya.
Namun demikian, dengan berkaca kepada pandemi Covid-19 yang telah melanda, masyarakat diminta tetap harus selalu optimis. Mampu bekerjasama dengan pemerintah, dan dunia secara cepat menyikapi situasi ini
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI, dr Agus Dwi Susanto mengatakan pemahaman yang baik terhadap infeksi cacar monyet dan kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa atau outbreak, menjadi modal utama dalam aspek pencegahan. Upaya untuk menghindari kontak dengan pasien yang diduga terinfeksi merupakan kunci pencegahan.
"Cara ini dinilai paling efektif pada saat outbreak, diiringi dengan upaya surveilans dan deteksi dini kasus aktif guna melakukan karantina untuk mencegah penyebaran yang lebih luas," kata Agus.
Agus juga meminta tenaga Kesehatan baik dokter maupun perawat yang menemukan gejala cacar monyet pada pasien agar segera melakukan tindak lanjut dengan tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Yakni metode pemeriksaan virus cacar monyet dengan mendeteksi DNA virus tersebut. "Selanjutnya segera melaporkan ke dinas kesehatan setempat agar bisa segera dilakukan surveilans dan Tindakan lebih lanjut lainnya," imbuhnya.
Cacar monyet merupakan penyakit infeksi virus, bersifat zoonosis dan jarang terjadi. Beberapa kasus infeksi pada manusia (human monkeypox) yang pernah dilaporkan terjadi secara sporadis di Afrika Tengah dan Afrika Barat dan umumnya pada lokasi yang berdekatan dengan daerah hutan hujan tropis.
Penyakit cacar monyet ini tergolong ke dalam genus orthopoxvirus. Virus lain yang juga berasal dari genus orthopoxvirus adalah virus variola yang menyebabkan penyakit cacar (smallpox) dan telah dinyatakan tereradikasi di seluruh dunia oleh WHO pada tahun 1980.
Berdasarkan data dari WHO, monkeypox pada awalnya teridentifikasi pada tahun 1970 di Zaire dan sejak itu dilaporkan secara sporadis di 10 negara di Afrika Tengah dan Barat. Pada tahun 2017, Nigeria mengalami outbreak terbesar yang pernah dilaporkan, dengan perkiraan jumlah kasus yang terkonfirmasi sekitar 40 kasus.
Sejak Mei 2022, monkeypox menjadi penyakit yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat global, karena dilaporkan dari negara non endemis. Sejak tanggal 13 Mei 2022, WHO telah menerima laporan kasus-kasus monkeypox yang berasal dari negara non endemis, dan saat ini telah meluas secara global dengan total 75 negara.
Hingga 25 Juli 2022 terdapat 18.905 kasus konfirmasi monkeypox di seluruh dunia, dengan 17.852 kasus terjadi di negara tanpa riwayat kasus konfirmasi sebelumnya. Amerika Serikat melaporkan kasus monkeypox sebesar 3846 kasus. Di ASEAN, Singapura telah melaporkan 9 kasus konfirmasi dan Thailand melaporkan 1 kasus konfirmasi.