Fatwa Baru Soal Jilbab di Mesir Kembali Picu Kemarahan dan Kritik Publik
Perempuan Mesir ingin bisa bebas memilih mengenakan jilbab atau tidak.
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Sebuah fatwa jilbab yang dikeluarkan oleh otoritas agama tertinggi Islam Al-Azhar Mesir telah memicu kemarahan dan kritik di kalangan masyarakat Mesir. Pada 8 Juli lalu, Pusat Fatwa Elektronik Global Al-Azhar menerbitkan “Larangan Idul Adha”, serangkaian tindakan yang harus dilakukan selama Idul Adha di Facebook.
Seseorang melarang wanita meninggalkan rumah tanpa jilbab. Pernyataan itu disambut dengan kritik luas secara daring. Keesokan harinya, lembaga tersebut mengubah kata-kata, yakni melarang wanita menghadiri sholat Idul Adha tanpa jilbab.
Namun, perubahan itu tidak mengakhiri kontroversi. Tagar bahasa Arab untuk “Turunkan Sheikh Al-Azhar” ramai di Twitter dalam upaya menuntut penggulingan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb. Meskipun ini bukan kontroversi jilbab pertama di Mesir, ini menjadi kritik pertama yang ditujukan kepada imam besar Al-Azhar. Banyak ulama menanggapi dengan menyerang kritikus fatwa tersebut.
Direktur Pusat Bimbingan dan Kesadaran Hukum Wanita Rida al-Danbouki mengatakan perdebatan baru tentang jilbab di Mesir tidak lain adalah upaya para ulama untuk memaksakan kontrol patriarki dan penindasan pada tubuh wanita. Itu lanjut dia merupakan upaya misoginis dan hasutan terhadap perempuan.
“Perempuan benar-benar bebas untuk memakai apa pun yang mereka inginkan, kapan pun mereka mau, tanpa pengawasan dari siapa pun atau kontrol pria serta tanpa didiskriminasi. Semua orang sama di depan hukum,” kata Danbouki, dikutip Al-Monitor, Jumat (29/7/2022).
Profesor Yurisprudensi di Universitas Al-Azhar Fatiha al-Hanafi mengatakan sejumlah pihak memusuhi Al-Azhar. “Partai-partai ini cenderung memicu kontroversi atas masalah doktrinal yang mapan dalam hukum Islam, termasuk masalah hijab,” ujarnya.
Pejabat Al-Azhar yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa Abbas Shouman menulis dalam postingan Facebook 16 Juli bahwa penyelenggara acara musik harus memaksa peserta untuk mengenakan pakaian putih longgar.
“Mewajibkan perempuan dan laki-laki untuk memakai pakaian putih untuk menghadiri sebuah acara tidak bertentangan dengan kebebasan pribadi. Ini hanya pengingat bagi wanita untuk mematuhi aturan berhijab yang merupakan kewajiban agama,” ucap dia.
Seorang perempuan Mesir Sara al-Sayed (30 tahun) mengatakan sejumlah lembaga agama memang memaksakan pemakaian jilbab. “Lembaga-lembaga agama berjuang memaksakan jilbab sebagai kewajiban agama. Tetapi pada akhirnya, ini tetap menjadi kebebasan pribadi. Setiap wanita bebas memakainya atau melepaskannya. Wanita benar-benar bebas dalam memilih, terlepas dari institusi mana pun,” ujar dia.
https://www.al-monitor.com/originals/2022/07/new-fatwa-reignites-hijab-controversy-egypt