Jangan Jadikan Pertalite Sebagai Komoditas Politik

Pemerintah harus tegas dalam kebijakan konsumsi BBM bersubsidi.

ANTARA/Arif Firmansyah
Pengendara motor berputar arah setelah mengetahui BBM jenis Pertalite dan Pertamax kosong di SPBU 34-16117, Kelurahan Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (8/8/2022).
Red: Joko Sadewo

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Ini permainan tingkat tinggi, mbak. Mainannya partai politik, karena bentar lagi mau pemilu. Begitulah kata dua pengemudi ojek online (ojol) yang saya naikin baru-baru ini ketika saya singgung soal Pertalite yang mulai sulit ditemukan.


Kelangkaan Pertalite, sudah saya rasakan sejak dua pekan lalu. Biasanya Pertalite sangat mudah ditemukan di lapak-lapak Pertamini ataupun penjual bahan bakar minyak (BBM) eceran.

Tapi dua pekan lalu, empat gerai Pertamini terdekat dari rumah saya ramai-ramai memajang tulisan Pertalite kosong. Yang tersedia hanya Pertamax.

Akhir-akhir ini banyak warganet mengunggah keluhan soal Pertalite kosong di beberapa SPBU. Bagi mereka yang mata pencahariannya sangat bergantung pada Pertalite pastinya akan terdampak dengan kelangkaan yang terjadi saat ini.

Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Keuangan sedang menghitung ulang subsidi BBM, termasuk Pertalite. Meski begitu, Erick menegaskan, sampai hari ini harga yang dijual Pertamina dibanding merk-merk lain memiliki perbedaan sampai hampir Rp 3.000 lebih.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan subsidi BBM sudah membengkak. Hal ini disebabkan harga minyak semakin bergejolak, sehingga subsidi yang dikeluarkan pemerintah terus bergerak.

Pemerintah telah menambahkan subsidi energi sebesar Rp 349,9 triliun, dari pagu awal APBN 2022 senilai Rp 152,5 triliun. Alhasil total subsidi energi pada tahun ini sebesar Rp 502,4 triliun.

Menurut Bendahara Negara, ada tiga hal yang membuat alokasi APBN kian membengkak. Selain volume BBM subsidi yang terus naik dari yang dikuotakan, harga keekonomiannya juga lebih tinggi dari yang sudah diestimasikan, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Untuk mencegah APBN jebol, pemerintah meminta Pertamina membatasi volume konsumsi BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar. Hal ini mengingat kuota yang sudah semakin menipis pada tahun ini.

Sebagai tindaklanjut permintaan tersebut, Pertamina mengimbau kepada masyarakat yang tergolong mampu supaya menggunakan BBM nonsubsidi agar tidak mengambil haknya masyarakat tidak mampu. Sejak awal Agustus ini, Pertamina memberlakukan sistem pendaftaran pembelian Pertalite untuk kendaraan roda empat melalui aplikasi MyPertamina.

Tanpa payung hukum yang jelas mengenai penyaluran subsidi tepat sasaran, tentunya potensi APBN jebol bakal terjadi lagi di kemudian hari. Sebagai operator penyaluran BBM bersubsidi tentunya akan sulit Pertamina untuk membatasi penjualan di kemudian hari jika tak ada payung hukum penyaluran BBM subsidi tepat sasaran.

Pemerintah berencana merampungkan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM pada Agustus 2022. Beleid itu nantinya akan mengatur pembatasan pembelian BBM bersubsidi, seperti Solar dan Pertalite.

Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, dalam sebuah kesempatan baru-baru ini mengungkapkan, di dalam rancangan Perpres yang terbaru ini BPH Migas mengusulkan, konsumen yang tidak mendapat akses untuk membeli Pertalite adalah kendaraan roda dua dan empat dengan kapasitas mesin di atas 2.000 CC. BPH Migas mengkategorikan kendaraan roda dua dan empat di atas 2.000 CC sebagai barang mewah.

Perpres yang mengatur distribusi BBM akan diundangkan setelah uji-coba pembelian BBM Pertalite lewat aplikasi MyPertamina berjalan sekitar satu bulan. Adapun Perpres juga bakal mengatur pembatasan untuk pembelian Solar bagi seluruh kendaraan pribadi pelat hitam. Hanya, pembelian Solar masih dapat dilakukan untuk kendaraan pribadi dengan bak terbuka.

Angkutan barang nantinya perlu mendapat rekomendasi yang menunjukkan spesifikasi tertentu dengan kemampuan usaha atau ekonomi pemilik kendaraan. Misalnya, konsumen sektor pertanian, luas lahan yang diolah maksimal 2 hektare, sedangkan sektor perikanan volume angkutan maksimalnya 30 ton.

Untuk mengatasi persoalan penyaluran subsidi BBM yang kerap terulang setiap tahun, mereka yang mata pencahariannya sangat bergantung pada Pertalite dan solar, tentunya menantikan ketegasan pemerintah. Jangan lah lagi menjadikan BBM bersubsidi ini sebagai komoditas politik demi menangguk suara dalam Pilpres 2024 mendatang.

 
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler