Sikap Tegas Habib Idrus bin Salim Aljufri Menentang Gerakan Separatis
Habib Idrus bin Salim Aljuri menentang setiap gerakan separatis yang merongrong NKRI.
REPUBLIKA.CO.ID,PALU -- Selain sebagai seorang ulama pendidik melalui Madrasah Alkhairaat, Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS Aljufri) juga merupakan seorang pejuang yang merebut kemerdekaan. Tidak hanya berjuang melepaskan bangsa dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang, SIS Aljufri juga berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan menentang segala macam bentuk gerakan separatisme yang merongrong pemerintahan yang sah.
Salah satu contohnya, seperti dikutip dari hasil riset berjudul Dampak Gerakan Perjuangan SIS Aljufri dan Kontribusinya yang ditulis oleh Tim Peneliti Universitas Alkhairaat, pada 6 Mei 1950, Alkhairaat mengeluarkan sebuah maklumat yang menentang setiap ancaman yang merongrong Pemerintah Republik Indonesia. Sikap politik SIS Aljufri dan Alkhairaat tersebut, antara lain dimaksudkan untuk memberikan peringatan terhadap kekuatan separatis apapun yang berusaha merongrong NKRI seperti, NICA dan DI/TII.
Pemikiran politik dan pendirian SIS Aljufri tersebut, dapat dilihat pada syair berikut:
بِاْليَرَاعِ وَبِالسِّيَاسَةِ فُقْتُمْ وَنُصِرْتُمْ بِذَا جَاءَتِ اْلَانْبَاءُ
لَاتُبَالُوا بِاَنْفُسٍ وَبَنِيْنَ فِى سَبِيْلِ اْلَاوْطَانِ نِعْمَ اْلفِدَاءُ
خُذْ اِلَى الْاَمَامِ لِلْمَعَالِى بَاَيْدِي سَبْعِيْنَ مِلْيُوْنًا اَنْتَ وَالزُّعَمَاءُ15
Artinya:
“Telah datang berita, engkau unggul dan tertolong dengan perantaraan pena dan politikmu.
Jangan risaukan diri dan anak-anak, demi tanah air alangkah indah penebusannya.
Bergandengan tanganlah menuju masa depan untuk kemuliaan, tujuh puluh juta jiwa dan para pemimpin akan bersamamu”.
Sementara dalam masa transisi masyarakat di lembah Palu, tepatnya tanggal 6 Mei 1950, terjadi gerakan demonstrasi di hadapan pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) di Palu, sekaligus menyampaikan Maklumat. Situasi tersebut mendorong Alkhairaat untuk ikut aktif, maka pada 15 Juni 1951, Alkhairaat mengadakan konferensi yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat, kepala distrik, Raja-Raja yang ada di Palu, Donggala dan sekitarnya.
Kegiatan ini diketua oleh M.S Patimbang dan Sekretarisnya Kamaruddin Patimbang yang kedua tokoh ini adalah murid SIS ALJUFRI. Pokok isi berita acara dalam konferensi tersebut antara lain disepakati:
Pertama, menyatakan kebulatan pendapat dan tindakan Alkhairaat sekaligus mendukung maklumat 6 Mei 1950 dan menentang setiap ancaman yang merongrong pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jogya.
Kedua, membangun dan membina serta mengembangkan Alkhairaat sebagai satu wadah yang bergerak untuk kepentingan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Konferensi ini di hadiri 100 orang peserta, termasuk di dalamnya SIS Aljufri selaku Pimpinan Alkhairaat dan dilaksanakan di Gedung Alkhairaat yang pertama. Hasil konferensi disimpulkan‚ sepakat untuk merapatkan barisan menentang setiap bentuk ancaman dan terus membangun Alkhairaat dan RI.
Perjuangan SIS Aljufri tidak hanya di masa kemerdekaan tetapi juga di masa penjajahan Belanda dan Jepangm Dikutip dari hasil riset Tim Peneliti Universitas Alkhairaat berjudul Dampak Gerakan Perjuangan SIS Aljufri dan Kontribusinya, salah satu contohnya adalah saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda pada akhir tahun 30-an. Untuk membangkitkan semangat juang siswa-siswi dan rasa nasionalisme untuk melawan kesewenangan kolonial belanda SIS Aljufri menciptakan sebuah syair yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.
Teks syair tersebut yakni:
نَحْنُ الشَّبَابُ.
نَحْنُ الشَّبَابُ لَنَا الْغَدُّ وَمَجْدُ نَا الْمُخَلَّدُ نَحْنُ الشَّبَابُ
بِالْعِلْمِ وَالْفَضَائِلِ وَالْنُّبَلِ فِي الشَّمَائِلِ
نَحْنُ طَلَائِعُ الْوَطَنْ نَحْنُ بَشَائِرُ الزَّمَنْ
هَيَّا بِنَا هَيَّا بِنَا نَحْمِيْ بِهَا اَوْطَانَنَا
فَاالْمَجْدُ فِي كِفَا حِنَا وَالْعِزُّ
فِي نِضَالِنَا نَحْنُ الشَّبَآبْ
Kami adalah Pemuda
Kami adalah angkatan muda, pemimpin masa depan
Dengan ilmu dan akhlak serta perilaku yang mulia
Kami akan bangun bangsa dan negara
Kami adalah pengawal tanah air
Dan harapan masa depan bangsa
Mari bersama-sama kita bangun negara
Dan bela tanah air, dengan iptek dan iptak (imu pengetahuan dan Iman Taqwa)
Kejayaan dan kemuliaan akan terwujud
Hanya dengan perjuangan
Yang diperoleh oleh angkatan muda.
Dampak dari penanaman nasionalisme dan perjuangan itu, pada 1938 pihak Belanda menuduh Ustadz Abdussamad, murid SIS ALJUFRI, Kepala madrasah Alkhairaat Cabang Dondo Ampana (sekarang Kabupaten Tojo Unauna), bersama tujuh orang temannya. Mereka ditangkap karena menggerakkan dan menggalang kekuatan masyarakat Dondo untuk mengusir Belanda di wilayah tersebut.
Abdussamad bersama tujuh orang temannya itu, ditembak secara keji oleh tentara Belanda dan ditenggelamkan di Pelabuhan Poso kemudian dibuang di Tanjung Putiah (antara Tojo dan Poso) Teluk Tomini. Selain itu, pada Desember 1939, Ustadz M.S. Patimbang, murid SIS ALJUFRI, yang bertugas mengajar pada madrasah Alkhairaat Luwuk (Kabupaten Banggai), dituduh dan ditangkap oleh Belanda karena mengadakan rapat di dalam Masjid Kampung Soho (Luwuk) untuk melawan Belanda. M.S.Patimbang dihukum, dan Masjid dilarang digunakan untuk shalat Jum’at.
Pada tahun 1939, penjajah Belanda bermaksud menyita gedung Alkhairaat yang bermarkas di Palu, setelah pecahnya pemberontakan Salumpaga di Tolitoli. Saat itu terdapat tuduhan beberapa murid Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS ALJUFRI) terlibat dalam pemberontakan tersebut.
Ketidakpercayaan pejabat kolonial memuncak ketika menemukan laporan beberapa santri dan guru-guru Alkhairaat telah mengambil bagian dalam jabatan SI (Serikat Islam) yang berujung pada tertangkapnya salah satu murid SIS Aljufri, M.S.Patimbang dalam pertemuan penyamaran SI di Luwuk, Sulawesi Tengah. Kolonial Belanda menyebutnya ‚pertemuan bawah tanah‛ pada tahun 1939 di kampung Soho-Luwuk, selain menangkap MS Patimbang, Belanda juga melarang warga kampung menggunakan masjid sebagai pusat aktifitas ‚anti kolonial‛.
Di masa penjajahan Jepang pada tahun 40-an, semua sekolah agama di tutup. Pemerintahan Jepang sangat mengkhawatirkan kalau melalui pendidikan agama propaganda anti Jepang dilancarkan. Sejak awal pendudukan Jepang, gedung sekolah Alkhairaat ditutup, SIS ALJUFRI bersama guru-guru dan murid-muridnya menyingkir ke luar kota palu ke desa Pewunu – Kaleke.
Di Pewunu ini SIS ALJUFRI bertemu dengan Yoto Daeng Pawindu yang merupakan ipar saudara dari isteri SIS ALJUFRI yang bernama intje Ami. Yoto Daeng Pawindu seorang tokoh pergerakan nasional dari PNI, di rumah Yoto Daeng Pawindu inilah menjadi sekolah darurat bagi murid-murid Alkhairaat kira-kira 70 orang bersama keluarga SIS ALJUFRI.
SIS Aljufri melihat penderitaan bangsa Indonesia terjadi di setiap daerah, murid-muridnya ditangkap dan disiksa kemudian dibunuh oleh Jepang. Kondisi ini ternyata tidak menyurutkan kebenciannya terhadap Jepang, justru semakin memperkuat daya spiritualitasnya sehingga SIS Aljufri bersumpah tak mau melihat orang Jepang lagi.
Bahkan, beliau berdoa, “Aku tidak ingin melihat bangsaku dijajah fisiknya, ditekan jiwanya dan dicabut kemerdekaannya oleh Jepang”.
Munajat yang bernada protes terhadap kolonial Jepang ini, dikabulkan oleh Tuhan, kedua mata beliau menjadi buta. Namun ada hikmah, karena SIS Aljufri buta, penjajah tidak lagi mencurigainya, seluruh aktivitas dakwah dan pendidikan yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, luput dari pantauan Jepang.
Kelompok revolusioner yang paling penting di Sulawesi Tengah adalah “Gerilya Kilat”, yang di dalamnya terlibat sejumlah pemimpin dan santri Alkhairaat, seperti Bachrain Thayeb, Hasbullah, dan Asnawi.
Itulah sebabnya SIS Aljufri kembali membuat syair berjudul Bendera Merah Putih. Selain sebagai bentuk apresiasi terhadap lambang negara Indonesia juga merupakan pernyataan nasionalisme SIS Aljufri.
Syair SIS ALJUFRI yang membangkitkan semangat dan mempengaruhi perjuangan kemerdekaan kepada murid-muridnya dan masyarakat Indonesia Timur yakni:
رَايَــةُ الْـعِــزِّ رَفْــرِفــِي فـِي سَـمَـاءٍ
*
اَرْضُـــهَــا وَجِـبَـالُـــهَـا خَــضْـــرَاءُ
اِنَّ يَــوْمَ طُـلُـوْعِـــهَـــا يَــوْمُ فَــخْـرٍ
*
عَــظَّــمَــتْــهُ اْلآبــــَاءُ وَالْأَبْـــــــنَــــاءُ
كُـــلَّ عَــامٍ يَــكُـوْنُ لِلْـيَـوْمِ ذِكْـرى
*
يَـظْـهَـرُ الشُّكْـرُ مِـنـْهُـمْ وَالثَّـنَــاءُ
لِـلْإِلٰــهِ الْــكَـرِيــْمِ يَـدْعُـوْنَ جَـهْــرًا
*
حَـيْثُ نَالُوْا الْمُنَى وَزَالَ الْعَـنَـاءُ
كــُلُّ أُمَّـــــةٍ لَـــهَـــا رَمْـــــزُ عِـــــزٍّ
*
وَرَمْـزُ عِـزِّنـا الـْحَمْرَاءُ وَالْبَيْضَاءُ
يـَا سُوْكَرْنُو حُيِّـيْـتَ فِيْنَا سَعِـيْـدًا
*
بِالدَّوَاءِ مِـنْكَ زَالَ عَــنـَّا وَالــــدَّاءُ
اَيُّــهَـــا الرَّئِـيْــسُ الْمُــبَــارَكُ فِـــيْــنَــا
*
عِـنْـدَكَ الْيَـوْمِ لِـلْـوَرَى الْـكـِمْيَاءُ
بـِالْـيـَـــرَاعِ وَ بِـالـسِّـيَـاسَةِ فُـقْـتُـم
*
وَنَــصـَرْتـُمْ بِــذَا جَــاءَتِ اْلأَنْــبَــاءُ
لَا تُــبَـــالُــوْا بِــأَنْــفُـــسٍ وَبَـــــنِـيــْنٍ
*
فـِيْ سَـبِـِيْلِ الْأَوْطَانِ نِعْمَ الْفِدَاءُ
خُذْ اِلَى الْأَمَـامِ لِـلْمـَعَـالـِي بِاَيْدِي
*
سَـبْعـِيْنَ مِلْيُـوْنًا أَنْـتَ وَزُعَـمـَاءُ
فَـسَـتَـلْـقـَى مِـنَ الـرِّعَــايَا قَـبُولاً
*
وَسَـمَـاعًـا لِـمَـا تَـقُـوْلُـهُ الرُّؤَسَاءُ
وَاعْـمـُرُوْا فِي الْبِلَادِ حِسًّا وَمَعْنًى
*
وَ بَـرْهِـنُـوْا لِـلْـمَـلَا اَنَّـكُـمْ أَكْـفَاءُ
أَيَّــدَ اللهُ مُـلْـــكَــــكُــمْ وَكَـــــفَـاكـُمْ
*
كُـلَّ شَــرٍّ تَــحُــوْكُــهُ الْأَعْــــدَاءُ11
Artinya:
“Berkibarlah bendera kemulian di angkasa-Daratan dan gunung-gunungnya yang menghijau”
“Sungguh hari kebangkitannya adalah hari kebanggaan–orang-orang tua dan anak-anak memuliakannya”
“Tiap tahun hari itu menjadi peringatan–muncul rasa syukur dan puji-pujian padanya”
Dengan lantang Mereka berdo,a kepada Tuhan Yang Maha Mulia–Karena cita-cita telah tercapai dan hilanglah segala masalah
“Tiap bangsa memiliki symbol kemuliaan–dan symbol kemuliaan kami adalah merah dan putih”
“Wahai Sukarno! Engkau telah jadikan hidup kami bahagia–dengan obatmu telah hilang penyakit kami…”.
“Wahai presiden yang penuh berkah untuk kami–Hari ini engkau laksana kimia bagi masyarakat.
“Engkau ungguli dengan tulisan dan politikmu–hingga datang berita akan kemenangan.
“Tidak peduli jiwa dan keturunan mereka korbankan-demi tanah air. Alangkah indah penebusan itu.
“Tampillah dengan bergandengan tangan menuju kemuliaan–Tujuh puluh juta rakyat dan para pemimpin akan bersamamu
“Pasti kau dapati kepercayaan dari rakyat–mereka akan patuh akan ucapan para pemimpin.
“Makmurkanlah Negeri ini (Indonesia) dengan pembangunan mental dan spiritual–buktikan pada rakyat akan kemampuanmu
“Semoga Allah senantiasa membantu kekuasaanmu dan mencegahmu-dari semua kejahatan yang dirancang para musuh."
Syair inilah yang di sampaikan SIS jufri kepada segenap murid-muridnya dan masyarakat di Indonesia Timur untuk membangkitkan semangat juang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda maupun Jepang.