Majelis Ulama Singapura Peringatkan LGBTQ+ Tak Usik Tatanan Islam
Singapura akan cabut larangan hubungan antarsesama jenis dan LGBTQ+
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA–Majelis Agama Islam Singapura (MUIS) menyebut segala bentuk advokasi lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ+) harus menghormati nilai-nilai yang dipegang teguh komunitas Muslim dalam menjalankan keyakinannya.
Pernyataan ini dijelaskan dalam rilis mereka, Senin (22/8/2022). “Komunitas Muslim memiliki hak untuk mempertahankan nilai-nilai agama dan kekeluargaannya terutama ketika ini secara langsung ditantang atau diperdebatkan,” kata MUIS dalam nasihatnya kepada komunitas Muslim tentang perkembangan LGBTQ+ di Singapura dilansir dari Channel News Asia, Senin (22/8/2022).
Sebelumnya, Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengumumkan dalam pidatonya di Hari Nasional pada Ahad lalu bahwa Pemerintah akan mencabut Bagian 377A dari KUHP atau mencabut undang-undang era kolonial yang diklaim mengkriminalisasi seks antarlaki-laki.
Pemerintah juga akan mengamandemen Konstitusi untuk melindungi definisi pernikahan yang saat ini diakui hukum terjadi antara satu pria dan satu wanita. Hal ini agar tidak digugat secara konstitusional di pengadilan.
Meski menegaskan akan mempraktikkan nilai Islam MUIS mengatakan dalam pernyataannya bahwa hukum Islam menempatkan pentingnya martabat manusia, rasa hormat, dan hubungan yang damai.
“Nilai-nilai ini sangat penting saat kita menavigasi masalah sosial-keagamaan yang kompleks saat ini. Sebagai Muslim, kita harus memperlakukan semua orang dengan penuh martabat dan rasa hormat. Setiap orang, terlepas dari orientasi seksual mereka, harus merasa aman di masyarakat dan institusi kita," kata pernyataan itu.
"Karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi karakter, amal dan kasih sayang yang terbaik, dalam berurusan dengan orang lain, bahkan dengan orang tidak sepemahaman," katanya, seraya menambahkan bahwa dia menolak segala bentuk intimidasi atau pelecehan.
Meski begitu, MUIS juga mengatakan bahwa ruang publik harus tetap aman bagi komunitas mainstream dan agama untuk mendidik anggota komunitasnya sendiri sesuai dengan sistem dan nilai kepercayaannya.
“Jika nilai dan keyakinan agama kita ditantang secara terbuka dan agresif, ini pasti akan mengubah ruang publik menjadi ruang yang konfrontatif dan memecah belah. Kita harus bekerja untuk mencegah perbedaan orientasi dan pandangan dunia berubah menjadi bentrokan dan konflik yang akan melemahkan masyarakat kita," katanya.