Pengamat: Manuver PDIP Bisa Jadi Penentu Koalisi
Kemungkinan PDIP tak ingin sendiri maju ke arena kontestasi pilpres 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menilai, kunjungan PDIP ke Nasdem Tower pada Senin (22/8/2022), memberi ruang tafsir bagi siapapun bahwa dalam Pilpres 2024 nanti. Menurutnya, kemungkinan PDIP tak ingin sendiri maju ke arena kontestasi, namun bisa menjadi penentu koalisi.
Pertemuan PDIP dan Nasdem ini bisa jadi hasil tindaklanjut dari Rakernas PDIP yang beberapa waktu yang lalu (21-23/6). Dalam Rakernas tersebut membuahkan rekomendasi penting, salah satunya mandat Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri (Megawati), kepada Puan Maharani (Puan) untuk menjalin komunikasi dengan para ketum partai.
"Gerak PDIP yang mulai membangun komunikasi ke partai-partai ini, sedikit banyak akan memberi pengaruh bagi dinamika koalisi. Dimana saat ini telah terbentuk secara resmi dalam wadah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang digagas Golkar, PAN, dan PPP, dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) bersama Gerindra dan PKB," Paparnya kepada wartawan, Selasa (23/8/2022).
Sementara dalam konteks Nasdem, menurut dia, saat ini sedang menjajaki komunikasi intensif dalam poros Koalisi Gondangdia bersama Demokrat dan PKS. Artinya, per hari ini, sudah ada dua koalisi formal pra pemilu dan satu koalisi informal prapemilu yang bila dijumlahkan menjadi tiga poros koalisi prapemilu.
"Pertanyaan mendasar akhirnya mengemuka, apakah manuver PDIP ini mampu mengubah jumlah poros koalisi yang sementara sudah terbentuk atau sekedar pelengkap poros koalisi yang sudah ada?,” tanya dia.
Latar dari Kondisi ini tercipta karena nalar partai-partai parlemen selain PDIP, harus berhadapan dengan presidential threshold sebagai syarat mutlak yang wajib dipenuhi untuk masuk ke arena Pilpres. Praktis semua bermanuver atau bergerak lebih cepat untuk mengamankan tiket agar tak hanya sekedar jadi penonton.
"Sehingga, ini membuyarkan skenario detik-detik akhir yang selama ini kerap mewarnai panggung politik kita," ujarnya.
Di titik inilah, Agung melihat, kepiawaian Puan meretas koalisi dinanti. Karena untuk menghasilkan kemenangan tiga kali berturut-turut (hattrick) dalam konteks pileg dan pilpres, PDIP memang tak bisa sendirian. Menimbang realitas politik hari ini bisa berulang saat Pemilu 1999 dijadikan fakta historis, saat PDIP menang Pileg, namun kalah di Pilpres.
"Hasil dari Pemilu 1999 hanya menempatkan Megawati sebagai pendamping Presiden Abdurrahman Wahid. Dan situasinya mirip dengan kondisi saat ini," terangnya.
Dalam berbagai temuan rilis lembaga survei kredibel terbaru, survei terbaru sementara PDIP masih bertengger di peringkat teratas dalam Pemilu Legislatif (Pileg). Namun, menghadapi kompleksitas saat berbicara figur capres yang akan diusung karena mengemuka sosok Puan dan Ganjar.
Secara teknis, sementara ini kalkulasi politik atas poros yang mungkin mengemuka terbentuk dalam tiga poros, yang rinciannya sebagai berikut. Pertama, saat Puan sebagai capres, maka kans untuk berkoalisi terbuka ke KIB. Karena sampai sekarang belum ada nama resmi yang diajukan sebagai capres maupun cawapres.
Namun hal ini menjadi rumit, karena elektabilitas Puan per hari ini tak jauh berbeda dengan salah satu pimpinan KIB, yakni Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto. Ketum Golkar ini juga berencana maju pilpres.
Selain itu, bila tetap menduetkan Puan-Airlangga atau sebaliknya Airlangga-Puan, maka semakin mempersempit ceruk massa yang akan diraih. Karena kedua tokoh ini kental sebagai figur nasionalis.
Kedua, Agung menjelaskan, jika Puan menggandeng KIR, maka kemungkinannya hanya diposisikan sebagai cawapres mengingat Prabowo adalah kandidat capres terkuat dari koalisi ini. Posisi tawar Prabowo sangat kuat karena bersama PKB atau tanpa PDIP, KIR telah memenuhi presidential threshold.
Namun, skema cawapres ini pun semakin sulit, menimbang Prabowo lebih membutuhkan figur cawapres dari kalangan santri atau sosok yang berasal dari partai-partai Islam sebagaimana kebutuhan KIB.
Ketiga, Poros Gondangdia yang digagas Nasdem belum resmi terbentuk bersama Demokrat dan PKS. Sehingga bila Puan masuk ke sini, lebih leluasa maju sebagai Capres dibanding dengan KIB maupun KIR. Bahkan, dengan kapasitas sebagai pemenang Pemilu 2019, PDIP bisa memimpin koalisi ini.
"Artinya, secara otomatis PKS dan Demokrat mesti berhitung cermat bila tetap bersama Nasdem atau lebih memilih KIB atau KIR," kata dia.
Jika sudah demikian, capres rekomendasi Rakernas Nasdem yang berpeluang mendampingi Puan, yakni Anies atau Andika, karena Ganjar berasal dari PDIP juga. Di antara dua nama tadi, di tahap seleksi akhir nama Anies lebih berpotensi kuat mendampingi Puan, karena saat ini dianggap merepresentasikan Islam konservatif.
Duet Puan-Anies atau sebaliknya Anies-Puan lebih rasional untuk merangkul semua segmen ideologi, demografi, dan geografi. Pertanyaan berikutnya muncul, apakah tugas Puan sudah selesai saat sudah meretas koalisi dan menimbang posisi sebagai capres atau cawapres? Tentu tidak.
Karena ada tugas berikutnya yang lebih penting menanti, yakni, jika sudah batas waktu dan elektabilitas dirinya tak kunjung membaik. Apakah PDIP atau Puan rela melepas posisi sebagai capres atau cawapres kepada Ganjar sebagaimana Jokowi di dua periode sebelumnya.
"Tujuannya agar coattail effect yang sudah diraih sementara ini semakin maksimal memastikan hattrick di pemilu 2024? Atau saat PDIP solid mengusung Puan untuk maju baik sebagai capres atau cawapres, apakah PDIP secara institusi mampu menahan Ganjar agar tak maju ke Pilpres?," ucapnya.