Serangan Bjorka Disebut Bukti Kacaunya Cyber Security System Indonesia
Sistem keamanan siber yang mudah diserang mendorong terjadinya peretasan data.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar hukum siber Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Masitoh Indriani menanggapi kemunculan hacker Bjorka yang membocorkan data pribadi para pejabat pemerintahan dan data-data negara. Masitoh mengatakan munculnya peretasan tersebut menandakan kekacauan dalam pengelolaan cyber security system di Indonesia.
“Apakah ini sebagai bentuk protes? Bjorka mungkin melihat abainya para stakeholder dan kurang seriusnya dalam pengelolaan cyber security system,” kata Masitoh, Ahad (18/9/2022).
Masitoh mengatakan sistem siber yang vulnerable (mudah diserang), mendorong terjadinya peretasan-peretasan dan pelanggaran terhadap data pribadi tersebut. Masitoh menambahkan, penyebaran data pribadi itu jelas melanggar privasi yang dilindungi konstitusi dan merupakan tindak pidana cyber crime.
Berdasar hukum Indonesia, kata dia, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap privasi yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Cyber crime, kata dia, merupakan tindak pidana yang unik karena bersifat transnasional. "Pengungkapan tindak pidana ini effort-nya sangat tinggi karena bersinggungan dengan kerja sama internasional dan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia yang mungkin juga terbatas,” ujarnya.
Masitoh menjelaskan, Indonesia sudah lama menyusun payung hukum berupa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Namun hingga saat ini aturan tersebut belum juga disahkan. Padahal, kata dia, RUU PDP adalah salah satu unsur penting dalam pengelolaan cyber security system di Indonesia agar menjadi lebih baik.
Ruang lingkup RUU PDP ini mencakup definisi data pribadi dan data sensitif, hak dan kewajiban bagi pengendali dan pemroses data, hak dan kewajiban subjek data, adanya DPO (Data Protection Officer) dan DPA (Data Protection Authority), serta mekanisme penyelesaian sengketa data pribadi. Khusus untuk keamanan negara, ujar Masitoh, dapat dibuat undang-undang lain tentang cyber security system, selain RUU PDP.
Masitoh menekankan jangan sampai pemerintah Indonesia menggunakan paradigma konvensional pada era digital seperti saat ini. Terkait siapa yang paling bertanggung jawab atad kebocoran data yang terjadi, menurutnya perlu melihat dua hal.
"Apakah dari sisi PSE (orang atau badan usaha yang mengoperasikan sistem elektronik) atau murni ada serangan dari luar. PSE sendiri nanti harus dilihat siapa yang melakukan pengendalian dan pemrosesan data,” kata Masitoh.
Masitoh melanjutkan, jika serangan tersebut berasal dari hacker luar, harus dicek apakah karena ada kelalaian PSE mengelola sistemnya sehingga ada hole untuk diserang, atau memang murni serangan dari hacker. "Ini penting sekali untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab,” ujarnya.
Masitoh menambahkan, data dianggap sebagai the new oil dalam konteks ekonomi digital sebagai salah satu hak yang fundamental bagi warga negara. Menurutnya, akan ada banyak kerugian fatal yang terjadi apabila cyber security system di Indonesia tidak dibenahi segera.
“Intinya, cyber security system di Indonesia masih sangat lemah. Karena itu, kita harus memperkuat regulasinya, seriusi implementasi dan penegakan hukumnya, serta dorong dan perbaiki sumber daya manusia dan infrastrukturnya,” kata Masitoh.