3 Bentuk Ketamakan yang Berbahaya Menurut Ibnu Al-Jauzy, dari Seks Hingga Harta
Tamak terhadap gemerlap dunia dari harta hingga seks merupakan tamak yang tercela.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tamak merupakan salah satu sifat tercela yang sangat dilarang dalam Islam. Ada beragam bentuk tamak.
Dalam Kitabnya berjudul Al-Thibb al-Ruhani atau terapi spiritual yang dialihbahasakan Mirqat Publishing dengan judul “Mengobati Jiwa Yang Lelah” ini, Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzy, mengupas tentang tiga bentuk ketamakan.
Ketamakan yang dimaksud, yaitu ketamakan seks, ketamakan dalam menumpuk harta, dan ketamakan dalam materi.
Ibnu al-Jauzy menjelaskan, ketamakan itu ternyata juga sering kali terjadi dalam seks. Hal ini juga telah dijelaskan Ibnu al-Jauzy dalam kitabnya yang berjudul Luqat al-Manafi’.
Menurut dia, jika terlalu banyak melakukan seks, kantung-kantung sperma akan menolak, lalu menarik makanan yang belum matang dan merampas kekuatan organ-organ utama dalam tubuh, seperti otak, jantung, dan hati.
“Sehingga mengakibatkan suhu normal tubuh menurun. Hal ini pada akhirnya dapat mempercepat kematian,” jelas Ibnu al-Jauzy pada halaman 14 buku ini.
Ibnu al-Jauzy menambahkan, sebenarnya jiwa-jiwa yang mulia menghindari perilaku hubungan seksual, kecuali kalau untuk menghindari dosa besar perzinahan atau mencari keturunan, bukannya sebagai kebiasaan untuk mencari kesenangan. Jika hal itu terjadi, kata dia, berarti manusia sedang bersaing dengan binatang.
Tidak hanya dalam seks, ketamakan juga sering kali terjadi dalam menumpuk harta. Menurut Ibnu al-Jauzy, hal ini merupakan kebodohan jika kadarnya melebihi kebutuhan.
Karena, pada hakikatnya harta tersebut bukan dimaksudkan untuk dirinya melainkan hanya untuk orang lain.
Dia tidak menyalahkan orang yang mengumpulkan harta untuk kebutuhan dirinya supaya dia tidak bergantung kepada orang lain dan dapat menghidupi anak-anaknya, bahkan memberikan sebagiannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Baca juga: Dulu Panas Dengar Alquran, Mualaf Veronica Bersyahadat Justru Berkat Surat Al Fatihah
Menurut Ibnu al-Jauzy, sangat penting bagi orang-orang yang berakal, setelah berhasil memiliki harta yang cukup, agar tidak menyia-nyiakan waktunya yang sangat berharga dan membahayakan nyawanya yang tidak ternilai dalam mengarungi lautan dan berbagai perjalanan. Dia pun mengutip pernyataan seorang penyair,
“Barang siapa menghabiskan waktunya demi menjadi hartawan karena takut papa (sengsara), maka tindakannya adalah kepapaan (kesengsaraan).”
Ibnu al-Jauzy sendiri sering kali melihat dan mendengar tentang orang-orang yang terlalu hemat dan berlayar mengarungi lautan dengan harapan meraih keberuntungan.
Padahal, mereka sudah tua. Namun, kemudian dalam perjalanannya mereka binasa dan tidak dapat meraih tujuannya walaupun hanya sebagian.
Karena itu, menurut Ibnu al-Jauzy penyakit tersebut perlu diobati dengan cara menatap sekejap maksud dan tujuan harta, serta menimbang antara keberhasilan meraih harta dan bahaya yang mengancam sesuatu yang paling berharga, yaitu nyawa dan waktu.
Maka barangsiapa yang bermusyawarah dengan akalnya, lanjut dia, niscaya akan memahami tujuannya. Dan barang siapa yang terjangkit penyakit tamak, niscaya dia binasa di tengah sahara kerakusan, dan tiada pewaris kecuali pelana dan binatang tunggangan.
Di samping itu, menurut Ibnu al-Jauzy, ketamakan juga seringkali terjadi dalam rupa-rupa kesenangan materi, seperti bangunan-bangunan yang diukir, kuda-kuda yang dilepas, pakaian-pakaian mewah, dan lain-lain. Menurut dia, akar penyakit ini berasal dari mengikuti hawa nafsu.
Ibnu al-Jauzy menjelaskan bahwa pengobatan penyakit itu adalah dengan cara menyadari bahwa hisaban atau perhitungan Allah SWT terhadap hasil usaha yang halal sangatlah berat, apalagi yang haram.
Kemudian juga menyadari bahwa menghambur-hamburkan harta adalah terlarang dan Allah SWT benar-benar tidak peduli terhadap orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, serta menyadari bahwa sesungguhnya segala sesuatu akan menjadi pahala bagi setiap mukmin kecuali kemewahan.
Menurut Ibnu al-Jauzy, manusia berakal adalah manusia yang mau berpikir tentang berapa lama dia tinggal di dunia, serta mau melihat sekejap akan rumah persinggahannya, sehingga dia akan puas dengan pakaian dan rumah yang cukup untuk menutup dan melindungi dirinya.
Berdasarkan sebuah hadits, Ibnu al-Jauzy kemudian menceritakan bahwa Nabi Nuh alaihissalam pernah tinggal di dalam rumah bulu selama 950 tahun.
Menurut dia, Rasulullah SAW juga tidak pernah meletakkan batu bata di atas bata atau membangun rumah mewah. Sedangkan pada pakaian Sayyidina Umar bin Khattab konon terdapat 12 tambalan.
Ibnu al-Jauzy menegaskan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang memahami bahwa dunia adalah habitat atau tempat yang cocok bagi kematian, sehingga tidak laik untuk dihuni.
Maka, menurut dia, barang siapa yang tidak memahami hal ini, niscaya ia terjangkit penyakit tamak. Untuk mengobatinya, maka dia harus tenggelam ke dalam ilmu serta merenungi dan meledani perjalanan hidup para ulama yang berakal.