Karya Ibnu Sina yang Minginspirasi Dunia Kedokteran Barat Modern
Qanun fi al-Thibb Ibnu Sina menjadi rujukan penting di dunia Barat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dunia Barat mengenal sosok Ibnu Sina sebagai Avicenna. Ibnu Sina demikian namanyasudah terkenal sebagai dokter yang ulung jauh sebelum menghasilkan karya monumental itu.
Ia mulai memasuki ranah ilmu kedokteran sejak berusia 13 tahun. Tiga tahun berselang, dirinya sudah terlibat dalam praktik medis di rumah sakit.
Pada suatu ketika, gubernur yang memimpin daerah tempat tinggal Ibnu Sina, Bukhara, terkena musibah. Sang amir menderita sakit yang sukar diobati. Banyak tabib merawatnya. Namun, mereka tidak kunjung bisa mendiagnosis secara tepat pengobatan untuknya.
Kemudian, Ibnu Sina yang merupakan penulis Al-Qanun fi al-Thibb itu mendatangi gubernur tersebut. Tidak disangka-sangka, pemuda itu dapat mendeteksi penyakit amir itu dengan tepat. Bahkan, pengobatan yang dilakukannya, atas izin Allah Ta'ala, dapat menyembuhkan pemimpin itu. Sebagai bentuk apresiasi, amir Bukhara memberikan kepadanya akses pada perpustakaan istana.
Inilah pengalaman pertamanya mendapatkan kemudahan pada koleksi pustaka yang luar biasa kaya milik penguasa. Hingga akhir hayatnya, Ibnu Sina dekat dengan berbagai pemerintahan sehingga dapat mengakses setiap perpustakaan milik masing-masing raja.
Salah satu buku yang dihasilkannya dari riset pustaka dan penelitian empiris adalah Al-Qanun fi al-Thibb. Dalam bahasa Inggris, karya itu disebut The Canon of Medicine. Ibnu Sina mulai menulis risalah tersebut kala dirinya meninggalkan Jurjan untuk menuju Iran pada 1012 M.
Di dalam Al-Qanun, ia mengelaborasi pengetahuan medis dari berbagai kebudayaan besar dunia, mulai dari Yunani, Romawi, India, hingga Persia dan Arab-Islam.
Isi kitab itu terdiri atas lima bagian. Masing-masing membahas topik unsur-unsur alam, anatomi, sebab-sebab kemunculan dan gejala berbagai penyakit; kaitan kebersihan, makanan, dan kesehatan serta kematian.
Hingga medio abad ke-18 M, Al-Qanun masih menjadi rujukan di kampus-kampus di Benua Eropa. Bahkan, para peneliti era kekinian terus mengapresiasi buah pena Ibnu Khaldun tersebut. Sebagai contoh, hasil risetnya atas tuberkulosis (TBC).
Baca juga: Dihadapkan 2 Pilihan Agama Besar, Mualaf Anita Yuanita Lebih Memilih Islam
Seperti dinukil dari artikel ilmiah Behzadifar dan kawan-kawan di Journal of Preventive Medicine and Hygiene (2020), Ibnu Sina mendedikasikan dua bab dalam kitab tersebut untuk membahas TBC. Avicenna mewanti-wanti, penanganan atas TBC harus dibedakan dari sakit pernapasan lain, semisal asma.
Ibnu Sina juga menyebutkan beberapa gejala penyakit menular itu, semisal demam pada malam hari, berkeringat, dan kelelahan. Apabila parah, pasien dapat mengalami pendarahan yang sangat membahayakan nyawanya.
Sang dokter Muslim juga meyakini, TBC memiliki tiga tahap, yakni prainflamasi, reaksi peradangan, dan cekungan (cavernous). Tidak hanya itu, ia juga memaparkan 21 bahan herbal yang bisa digunakan untuk meredakan gejala-gejala TBC. Sebut saja, oak abu-abu (Quercus baloot) dan almond.