Kematian Akibat Gagal Ginjal Akut pada Anak Terus Bertambah, Tersangka Masih Nihil
Data terakhir Kemenkes per 26 Oktober 2022, 157 meninggal akibat gagal ginjal akut.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Dian Fath Risalah, Antara
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan terdapat total 269 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia yang tercatat per 26 Oktober 2022 atau mengalami peningkatan sebanyak 18 kasus bila dibandingkan data dua hari sebelumnya. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menyebutkan bahwa dari total angka tersebut sebanyak 73 kasus masih dirawat, 157 kasus meninggal dunia, dan sembuh 39 kasus.
Kasus terbanyak ditemukan di provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data per Kamis (27/10/2022) yang dirilis Dinas Kesehatan DKI Jakarta, ada 135 kasus total gagal ginjal akut pada anak di Ibu Kota. Dikatakan dia, dari 135 total itu, ada 63 pasien yang dinyatakan meninggal.
“Tapi ini total dari Januari, karena kami aktif (menyisir) sejak Januari sampai 27 Oktober kemarin,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti kepada awak media di Monas, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
“Sembuh 46 orang. Kalau bicara persen, berarti yang meninggal sekitar 63 persen. Nah, data tadi tidak semua berdomisili di DKI,” imbuhnya.
Atas merebaknya kasus gagal ginjal yang juga memicu jatuhnya korban meninggal dunia pada anak, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sudah meminta pihak kepolisian melakukan pengusutan. Namun, hingga hari ini, polisi masih masih mengumpulkan bukti-bukti dan peristiwa pidana, untuk meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan.
Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, tim penyidik gabungan Bareskrim Polri, pun masih melakukan telaah dan analisis dari masing-masing divisi untuk proses hukum lanjutan.
“Untuk saat ini, sifatnya masih dalam penyelidikan. Tim mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan, kemudian menganalisa untuk dapat ditingkatkan ke penyidikan,” kata Dedi, saat dikonfirmasi, Jumat (28/10/2022).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pekan lalu, melarang peredaran dan penjulan 102 merk obat sirop yang diduga mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas. Kemenko PMK pun meminta Polri memidanakan produsen farmasi yang memproduksi obat-obat sirop mengandung EG dan DEG berlebih itu.
Bareskrim Mabes Polri pada Senin (24/10/2022) kemudian merespons desakan tersebut dengan membentuk tim gabungan khusus. Bareskrim memerintahkan empat direktorat untuk melakukan penyelidikan. Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) menjadi pemimpin tim gabungan itu. Bersama Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus), Direktorat Tindak Pidana Narkotika dan Obat-obat Terlarang (Dirtipid Narkoba), serta Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum).
Tim Polri itu, diminta untuk berkordinasi dengan Kemenkes, dan BPOM untuk tindak lanjut penegakan hukum atas kasus obat-obat sirup yang menyebabkan kematian akibat gagal ginjal akut pada anak-anak tersebut.
Irjen Dedi melanjutkan, koordinasi Bareskrim dengan Kemenkes dan BPOM sudah dilakukan intensif. Termasuk kata Dedi, dengan menerima inventarisir dari Kemenkes dan BPOM atas dua perusahaan farmasi yang diduga sebagai produsen obat-obat sirop berbahaya tersebut.
"Itu salah satu yang dibahas bersama Kemenkes dan BPOM," ujar Dedi.
Namun Dedi mengaku, belum mendapatkan materi lengkap hasil dari koordinasi tersebut. "Untuk materi dan hasil kordinasi, nanti akan disampaikan lebih lanjut," ujar Dedi.
Direktur Tipidter Bareskrim Brigadir Jenderal (Brigjen) Pipit Rismanto menerangkan, proses penyelidikan sementara ini, masih pada pendalaman sampel, dan bahan-bahan baku dalam obat-obat sirop tertentu yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak tersebut. “Sementara ini, penyelidikan yang dilakukan masih dalam pendalaman sampel-sampel dan bahan baku dari obat-obat yang disebutkan mengandung EG dan DEG itu,” ujar Pipit kepada Republika, Jumat (28/10/2022).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus gagal ginjal akut yang menelan korban jiwa ratusan anak di Indonesia.
"Karena ini bisa disebut kasus kejadian luar biasa, maka harus ada yang bertanggung jawab atas peristiwa ini," kata Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Komnas HAM mendukung dan mendorong setiap pihak yang terlibat atau terindikasi melanggar unsur pidana maka harus bertanggung jawab. Komnas HAM sependapat dengan Presiden Joko Widodo yang menyarankan agar para korban yang saat ini masih dirawat di rumah sakit dibebaskan dari biaya perawatan.
Tidak hanya itu, kata Munafrizal, bagi keluarga korban kasus gagal ginjal akut yang anaknya meninggal dunia, Komnas HAM berpandangan pemerintah atau kementerian/lembaga terkait sebaiknya memberikan santunan. Komnas HAM meminta BPOM agar selalu menyampaikan perkembangan atau informasi kepada publik karena hal itu menyangkut hak masyarakat luas.
"Kami berharap penyampaian setransparan mungkin dan apa adanya tanpa ditutupi," ujarnya.
Komnas HAM mengaku prihatin atas kasus gagal ginjal akut yang diduga menyebabkan meninggalnya ratusan anak di Indonesia, katanya. Sebagai lembaga yang fokus di bidang HAM, ia menegaskan pihak-pihak terkait harus memperhatikan aspek keselamatan anak.
"Ini menyangkut hak hidup, hak kesehatan, dan hak jaminan sosial," ujarnya.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Iwan Ariawan mengatakan perlunya penyelidikan epidemiologi (PE) yang tuntas terkait penyebab gangguan ginjal akut pada anak (GGAPA). Karena, masih sangat mungkin adanya penyebab lain selain cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
"Penyelidikan epidemiologi terus kami lakukan, karena cemaran EG /DEG sehingga terjadinya oksalat tidak bisa jadi satu penyebab, perlu kajian juga, belum tentu jadi penyebab tunggal," ujarnya dalam diskusi daring Jumat (28/10/2022).
Ia menjelaskan PE yang dilakukannya bersama Kementerian Kesehatan adalah dengan melakukan penelitian kasus kontrol GGPA di RSCM UI. Metode yang dilakukan adalah membandingkan paparan cemaran EG dan DEG pada pasien yang terkena GGA dan pasien yang tidak terkena GGA.
"Jadi dalam model penelitian anak-anak yang gagal ginjal akut sebagai kasus dibandingkan pasien lain yang tidak gagal ginjal akut, nanti dilihat paparannya pada cemaran EG/DEG akan dihitung berapa persen sih punya riwayat EG/DEG. Kemudian pada kasus yang sudah sembuh juga akan dilihat. Dilihat juga apa ada interaksi dengan zat lain" jelasnya.
Diharapkan, dalam waktu satu bulan PE sudah selesai dan ditemukan jawaban pasti penyebab GGPA. "Semoga satu bulan terjawab, karena perlu dilakukan sampai tuntas dibandingkan melalui kontrol agar diketahui penyebab pastinya," terangnya.