Laporan Kasus KDRT di Kota Bandung Terus Meningkat
Laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus meningkat di Bandung.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Kepala UPTF PPA Kota Bandung Mytha Rofiyanti menyebut kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan dan anak sebagai fenomena gunung es, karena kasus dan laporan yang tercatat belum tentu mewakili jumlah pasti kasus yang terjadi di lapangan. Menurutnya, meningkatnya laporan kekerasan dan penganiayaan biasanya diiringi dengan meningkatnya keberanian para korban untuk buka suara.
“Di Kota Bandung, setiap tahun kasus (kekerasan pada perempuan) terus meningkat, yang paling banyak kekerasan fisik dan psikis umumnya dilakukan oleh suami atau anggota keluarga lainnya,” ungkapnya saat dihubungi Republika, Senin (31/10/2022).
“Perlu dicatat, data yang kami miliki adalah data korban yang melaporkan kasusnya ke UPTD PPA bukan data yang mewakili data kota Bandung secara keseluruhan,” tegasnya.
Kenaikan, kata dia, tidak menunjukkan angka yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Dia menambahkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung akan terus berupaya menurunkan potensi terjadinya kekerasan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Menurutnya, melalui sosialisasi ini, maka akan mendorong semakin banyaknya korban yang berani untuk melapor.
“Semakin sering kita melakukan sosialisasi maka yang melaporkan kasusnya semakin banyak karena mereka tahu apa yang terjadi pada dirinya merupakan tindak kekerasan dan mereka juga tahu kemana harus melapor,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengajak masyarakat untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bullying dan perkawinan anak
Menteri PPPA Bintang Puspayoga menuturkan, sosialisasi adalah langkah yang tepat untuk mengkampanyekan isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebab Indonesia kini dianggap sebagai negara darurat kekerasan.
Merujuk pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun masih mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 juga mencatat adanya penurunan prevalensi, dimana empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya.
Data BPS 2021 turut mencatatkan prevalensi perkawinan anak pada tahun 2021 ada sebesar 9,23 persen. Sedangkan Simfoni PPA melaporkan sepanjang 2021, 73 persen perempuan menjadi korban kekerasan dan 48 persen anak korban kekerasan mengalami kekerasan di rumah tangga.
“Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mendata sebanyak 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk bullying pada 2022,” ucap Menteri PPPA dalam keterangan tertulisnya, Ahad (30/10/2022).