Kisah Perjalanan Haji Khaizuran
IHRAM.CO.ID, Khaizuran, sang ibunda, mengikuti jejaknya. Pada 788 M ia melakukan perjalanan hajinya sendiri sebagai ibu suri. Dalam perjalanan itu, ia memberikan sumbangan kepada rakyat dalam jumlah sangat besar. Dalam berkali-kali kesempatan, dia memerintahkan pembangunan sebuah tempat bernaung, pancuran air, atau sebuah masjid di sepanjang rute perjalanan haji.
Dia tampaknya juga merupakan orang pertama yang mengadopsi gagasan untuk melestarikan bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah. Ketika tiba di Makkah, tempat dia akan tinggal selama beberapa bulan, Khaizuran mendanai sebuah upaya untuk merestorasi rumah tempat Nabi dilahirkan.
Tidak hanya itu, dia juga memperbaiki sebuah bangunan yang dikenal sebagai Rumah Arqam tempat para pemeluk Islam awal berkumpul.
Di masa belakangan, keduanya dimuliakan sebagai tempat suci. Dengan cara ini, Khaizuran semakin meninggikan kedudukannya yang mulia sembari memberikan lebih banyak cap religius pada rezim putranya.
Harun ar-Rasyid memberinya penghormatan yang tidak diberikan Hadi, saudaranya. Ketika Khaizuran meninggal dunia di usia 50 pada tahun berikutnya, November 789 M, Harun berjalan telanjang kaki melalui lumpur di depan peti jenazahnya menuju makam.
Ketika Harun sampai di pemakaman di tepi barat Tigris, dia mencuci kakinya dan mengenakan sepasang sepatu bot baru. Sebagai ucapan selamat tinggal, dia membacakan eulogi Ibnu Nuwairah yang terkenal yang dibacakan istri Nabi Muhammad, Aisyah, di atas pusara ayahnya sekaligus khalifah pertama, Abu Bakar.
Menurut Benson Bobrick dalam The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, di masa keluarga Abbasiyah berhasil berkuasa, penaklukan Islam kurang lebih sudah menempuh jalannya. Tapi, perbatasan Bizantium masih terus berubah. Setelah serangkaian kemunduran, Kerajaan Abbasiyah sekali lagi berusaha menekan balik. “Dua serangan Harun yang spektakuler ketika masih menjadi pangeran mahkota merangsang seleranya untuk mencapai tujuan ini,” ujarnya.
Tahun demi tahun, untuk meningkatkan kedudukannya sebagai panglima orang beriman, dia terjun ke medan perang. Di perbatasan barat Kerajaan Abbasiyah kerap terjadi bentrokan. Hal itu terjadi karena kedua belah pihak menempatkan pasukan di sepanjang garis pertahanan berkubu yang membentang di seluruh Asia Kecil atau Anatolia, dari Suriah hingga perbatasan Armenia