Hanya 4 Persen Masyarakat Indonesia yang Khawatirkan Resesi Tahun Depan
Kenaikan harga menjadi hal yang paling dikhawatirkan jika terjadi resesi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Continuum Data Indonesia melakukan analisis respon masyarakat menggunakan pendekatan big data, guna mengetahui kekhawatiran publik terhadap isu resesi pada tahun depan. Hasilnya, hanya empat persen perbincangan dari data media sosial yang menunjukkan kekhawatiran masyarakat mengenai resesi 2023.
"Sementara sebanyak 95,9 persen tidak khawatir," ujar Data Analyst dari Continuum Data Indonesia Natasha Yulian dalam diskusi daring yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara daring, Selasa (8/11/2022).
Ia menambahkan, sebanyak 45 persen perbincangan negatif berisikan kritik pemerintah yang ketar-ketir dengan resesi tahun depan. Lalu sebanyak 30,3 persen perbincangan negatif di media sosial terkait kampanye menjual ketakutan atau fear mongering dari influencer.
Sementara perbincangan positif masyarakat, sebanyak 69,3 persen berkisar pada optimisme Indonesia aman dari resesi. "Kemudian 21,6 persen perbincangan terkait konsumsi masyarakat yang masih tinggi terhadap Iphone 14," tuturnya.
Meski begitu, kata dia, walau tidak dominan namun masyarakat masih mengkhawatirkan kemungkinan resesi. Hal itu dinilai logis jika melihat tren beberapa waktu ke belakang, harga-harga mengalami kenaikan dan gelombang PHK terjadi di mana-mana.
Natasha mengungkapkan, kenaikan harga menjadi hal yang paling dikhawatirkan jika terjadi resesi dengan persentase sebanyak 52,8 persen. "Selain itu, krisis pangan dan susah mencari kerja juga menjadi hal yang dikhawatirkan. Persentase masing-masing 30,6 persen dan 4,2 persen," jelas dia.
Maka, lanjutnya, masyarakat di media sosial pun aktif membagikan tips untuk menghadapi resesi. Di antaranya berhemat menabung dengan persentase 50,1 persen serta tetap belanja, persentasenya sebanyak 21 persen.