Abdurrahman bin Auf: Sahabat Nabi yang Gila Sedekah
Salah satu amal salehnya adalah gemar bersedekah.
REPUBLIKA.CO.ID, Sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdurrahman bin Auf, memiliki kisah sebagai teladan pebisnis Muslim yang sukses. Meski menjadi miliarder, ia tak lantas lupa diri dan tetap rajin beribadah maupun gemar bersedekah.
Kian banyak uang yang ia donasikan di jalan Allah SWT, justru membuat hartanya semakin melimpah. Abdurrahman bin Auf, sebagaimana profesi sahabat Nabi di Makkah pada umumnya, merupakan sosok yang sangat konsen di usaha sektor bisnis perdagangan. Salah satu tempat yang ramai menjadi tempat usaha adalah Pasar Bani Qainuqa’, salah satu pasar milik orang Yahudi. (Jawwad Ali, Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz XIII, halaman 309)
Dikisahkan, saat umat Muslim Makkah hijrah ke Madinah pada 622 M, Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Tujuan utama dari langkah ini adalah untuk menciptakan kerukunan dan menghindari ketimpangan ekonomi.
Rasul menyadari, Anshar sebagai imigran telah meninggalkan semua hartanya di kampung halaman dan mereka pindah ke Madinah dengan tangan hampa. Kebetulan, Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’, orang terkaya dari kaum Anshar saat itu.
Dilansir di laman resmi PBNU, saat hal itu terjadi Sa’ad tidak hanya dengan senang hati menerima Abdurrahman yang sudah jatuh miskin sebagai saudaranya, tetapi juga menawarkan separuh hartanya. Bahkan, ia juga rela andaikan harus menceraikan salah satu istrinya untuk Abdurrahman.
“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka akan aku beri separuh hartaku untukmu. Kemudian lihatlah di antara kedua istriku, siapa yang engkau suka nanti akan aku ceraikan untukmu, jika ia telah halal maka nikahilah,” kata Sa’ad.
Tidak diduga, Abdurrahman justru menolak tawaran tersebut. Alasannya bukan karena ia sombong dan tidak mau menerima uluran tangan orang lain, namun karena ia ingin hidup mandiri dengan jeri payah sendiri.
Di saat tak memiliki harta sepeser pun, lelaki Muhajirin itu masih menunjukkan pribadinya sebagai seorang pekerja keras. Ia memiliki prinsip tidak ingin menggantungkan hidupnya dari pemberian orang lain.
Kesuksesan Abdurrahman tidak hanya terjadi karena etos kerja yang dimiliki, tetapi juga karena semangat ibadahnya yang tidak pernah redup. Salah satu amal salehnya adalah gemar bersedekah.
Menjadi miliarder tidak membuat sahabat Nabi ini larut dalam kesibukan duniawi. Bahkan, ia pernah berkata, “Aku adalah orang terkaya di Makkah. Tapi semua ini justru membuatku takut. Jangan-jangan hartaku sendiri yang akan menjerumuskanku.”
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang juga dicatat Muhibuddin ath-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah, dikisahkan sekali waktu saat Siti ‘Aisyah sedang di rumah (Madinah), tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara gemuruh. “Suara apa ini?” tanya ‘Aisyah.
Orang-orang pun menjawab, “Itu adalah kawanan unta milik Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja pulang dari Syam membawa serbaneka komoditas. Jumlahnya sebanyak 700 unta. Itu yang menimbulkan suara gemuruh tadi.”
Aisyah kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku melihat Abdurrahman masuk ke surga dalam keadaan merangkak (karena kekayaan yang dimilikinya).’”
Setelah ucapan ‘Aisyah itu terdengar Abdurrahman, ia pun berucap, “Jika bisa, aku akan tetap masuk ke surga dengan berdiri.” Ia pun menyedekahkan semua gandum dan pelana unta miliknya untuk didermakan ke jalan Allah. (Muhibuddin ath-Thabari, Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah, tanpa tahun: juz IV, halaman 305)
Sejarawan Muslim Jawwad Ali melaporkan tentang kedermawanan Abdurrahman bin ‘Auf ini. Menurutnya, ia tidak tanggung-tanggung menyedekahkan separuh hartanya, pernah juga bersedekah 40.000 dinar, 500 ekor kuda dan 500 kendaraan untuk keperluan perang, dan memerdekakan 30.000 hamba sahaya, dan masih banyak lagi kisah kemurahannya.
Ia juga dikisahkan pernah bersedekah kepada seluruh tentara Muslim yang masih hidup dalam Perang Badar masing-masing 400 dinar, yang saat itu jumlah mereka adalah 100 orang. Kekayaan yang dimilikinya merupakan hasil dari bisnis berjualan. (Jawwad Ali, Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz XIII, halaman 311)