Muhammadiyah di Luar Pusaran Politik

kader Muhammadiyah serasa menjadi tumpukan daun kering di politik

Republika/Wihdan Hidayat
Ketua Panitia Pemilihan Muktamar ke-48 Muhammadiyah, Dahlan Rais menyampaikan hasil pemungutan suara dengan e voting saat Sidang Pleno Tanwir Muhammadiyah di Auditorium Muhammad Djazman, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (18/11/2022). Pada sidang pleno ini peserta memilih 39 nama dari 92 nama calon anggota PP Muhammadiyah. Selanjutnya dari 39 nama ini akan dibawa ke Muktamar untuk dipilih menjadi 13 nama calon anggota PP Muhammadiyah.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Zainuddin Maliki - Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya 2003-2012, saat ini anggota DPR-RI 2019-2024


Adalah almarhum Prof. Bachtiar Effendy yang dikenal serius menganjurkan agar Muhammadiyah tidak mencukupkan diri mengembangkan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pilantropi, pengurangan risiko bencana, ekonomi serta di bidang kemanusiaan lainnya. Muhammadiyah harus memperluas amal usahanya di bidang politik. Tentu dikarenakan gerakan dakwah, amar makruf nahi munkar, tidak bisa dilepaskan dari urusan politik.

Tentu disadari bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik. Jika Muhammadiyah dekat-dekat dengan politik  berisiko terkontaminasi oleh permainan politik kotor. Namun pilihan political disengagemant - melepas diri dari politik dengan pemahaman bahwa politik itu kotor, jelas juga berisiko.  Risiko semakin jelas jika yang mengendalikan politik itu penguasa yang mengidap penyakit political resentment - kebencian penguasa terhadap lawan politik.

Tiga wilayah strategis dalam politik 

Begitu luas wilayah yang menjadi urusan politik. Boleh dikata semua aspek kehidupan. Namun, setidaknya ada tiga wilayah strategis yang perlu mendapatkan perhatian Muhammadiyah. Jika tidak ambil bagian, maka ketiga hal tersebut akan dikendalikan orang lain. 

Ketiga hal dimaksud yang pertama adalah politik Undang-undang. Adalah urgen sekali untuk turut mengendalikan politik undang-undang. Masalahnya UU bersifat mengikat dan memaksa. Tidak seperti fatwa, yang kepatuhannya sangat tergantung kepada masing-masing individu. Seperti fatwa larangan merokok yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah. Banyak sekali warga Muhammadiyah yang tidak mempedulikan larangan merokok. 

Andaikata larangan merokok dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka hanya ada dua pilihan jika melanggar, dipidana penjara dan atau bayar denda.

Wilayah politik yang strategis kedua adalah distribusi alokasi kekuasaan. Muhammadiyah kaya guru bangsa dengan berbagai gagasan besar mengenai politik kebangsaan. Tetapi, betapapun bagusnya konsep politik kebangsaan tanpa dikawal oleh pemegang politik kekuasaan sulit gagasan besar itu bisa diwujudkan. 

Ketiga, menyangkut distribusi alokasi anggaran. Untuk yang tersebut terakhir ini termasuk  distribusi dan alokasi sumberdaya langka yang dimiliki negeri ini yang justru lebih banyak berada di tangan para pemburu rente atau oligarki. 

Alat menyalurkan political resentment

Perlu dicatat bahwa UU yang bersifat mengikat dan memaksa bisa dijadikan alat menyalurkan political resentment. Sebut saja.misalnya, ketika DPR mengesahkan UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU ini jelas sekali merugikan pengembangan Rumah Sakit Muhammadiyah. Dalam pasal 7 ayat (4) dinyatakan Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. 

Oleh karena Muhammadiyah jelas-jelas tidak hanya bergerak khusus di bidang rumah sakit, tentu saja eksistensi Rumah Sakit Muhammadiyah yang sudah memberi layanan kesehatan, bahkan sejak Indonesia belum merdeka menjadi terancam. Tak kurang dari 70 Rumah Sakit Muhammadiyah sejak UU tersebut diberlakukan tidak bisa memperpanjang izin.

Jika dipaksakan, pengurusnya bisa dipidanakan, karena dalam Pasal 62 disebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. 

 

 


Jihad Konstitusi

PP Muhammadiyah sudah menyatakan penolakan sejak UU tentang Rumah Sakit tersebut digodok oleh DPR. Namun, penolakan itu tidak mendapat dukungan politik. Tidak ada politisi di Senayan yang mau membantu kepentingan Muhammadiyah. Politik Senayan sudah dikuasai oleh fikiran political resentment terhadap eksistensi pelayanan kesehatan  Muhammadiyah. Tidak ada pilihan lain, akhirnya Muhammadiyah harus melakukan jihad konstitusi dengan jalan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Beruntung gugatan  yang diajukan Muhammadiyah dikabulkan MK yang waktu itu dipimpin Hamdan Zoelva. MK menegaskan bahwa  Pasal 7 ayat ( 4) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba. Dengan keputusan MK ini, sebagai organisasi nirlaba, Muhammadiyah menjadi berhak mengelola Rumah Sakit.

Banyak Rancangan Undang-undang (RUU) yang meniscayakan Muhammadiyah harus peduli politik undang-undang. Misalnya, sempat muncul gagasan memasukkan pendidikan sebagai obyek pajak progresif yang kapitalistik melalu RUU yang diusulkan pemerintah berupa Revisi UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

Saat ini saja pajak terhadap sejumlah belanja barang, seperti belanja alat-alat laboratorium pendidikan dirasa sudah berat oleh pendidikan swasta. Bisa dibayangkan jika dikenakan PPN pendidikan yang kapitalistik itu, tentu sangat memberatkan pendidikan negeri dan apalagi swasta.

Ada juga RUU yang meniscayakan Muhammadiyah perlu mengawal politik undang-undang. Mendikbudristek mengajukan revisi UU  No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Muhammadiyah termasuk organisasi keagamaan yang mengelola ribuan Madrasah. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka. Tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya draft RUU Sisdiknas itu yang menghapus frasa Madrasah. Masyarakat pun dibikin gaduh.  Setelah gaduh frasa Madrasah itu kemudian dimasukkan dalam draft yang diajukan ke DPR. 

Yang pasti, posisi saat ini sejumlah fraksi menyatakan menolak usulan pemerintah untuk merevisi UU Sisdiknas. Seperti diketahui usul pemerintah yang disiapkan Mendikbudristek itu tetap ditolak untuk dimasukkan dalam daftar RUU Prioritas 2022/2023 karena dinilai mengandung sejumlah kelemahan, baik prosedural maupun substansial.

Bagaimana ending dari posisi Madrasah dalam UU tentu masih tergantung siapa yang dominan dalam mengolah Revisi UU Sisdiknas itu nanti.

Di luar Pusaran Politik

Reformasi yang menutup lembaran sejarah politik tertutup dan monolitik, digantikan dengan lembaran politik baru yang terbuka dan pluralistik, sebenarnya berhasil memunculkan kecenderungan baru di kalangan kader persyerikatan Muhammadiyah. Muncul syahwat baru untuk ambil bagian dalam proses politik. 

Namun, rupanya syahwat politik itu tidak sebesar yang digambarkan. Salah satu sebabnya karena hingga saat ini di lapisan elite Muhammadiyah pusat maupun daerah masih didominasi paradigma pemikiran political disengagement - mengambil jarak untuk tidak mengatakan lepas tangan dari politik. Pandangan bahwa politik itu kotor masih sangat kental.

Akhirnya tidak seperti ketika mengurus amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan kemanusiaan lainnya, dalam urusan politik tidak tergambar sebagai sebuah persyerikatan. Dalam politik lebih terasa sebagai sebuah kerumunan - berhimpun tetapi masing-masing buka lapak sendiri-sendiri. 

Dampaknya kader Muhammadiyah serasa menjadi tumpukan daun kering yang ditiup angin. Bertabur kemana-mana, kemudian jatuh di tempat yang tidak jelas. Lalu tidak banyak kader yang berada di lingkaran kekuasaan di negeri ini. 

Oleh karena tak banyak kader Muhammadiyah yang memegang portofolio dalam politik kekuasaan - baik legislatif maupun eksekutif di negeri ini, maka saya memaklumi ketika ada yang mengeritik judul buku saya yang diterbitkan Hikmah Press (2017), "Muhammadiyah dalam Pusaran Politik." Pengeritik itu mengatakan yang lebih tepat  judul buku saya itu adalah "Muhammadiyah di luar Pusaran Politik." Wallahu a'lam bishawab.

 



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler