Mahkamah Agung Inggris Tolak Usulan Referendum Kemerdekaan Skotlandia
Parlemen Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk membuat undang-undang referendum.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mahkamah Agung Inggris telah memutuskan bahwa Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk menggelar referendum kemerdekaan tahun depan tanpa persetujuan dari parlemen Inggris. Putusan tersebut menjadi pukulan keras bagi kaum nasionalis Skotlandia.
“Parlemen Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk membuat undang-undang referendum tentang kemerdekaan Skotlandia,” kata Presiden Mahkamah Agung Inggris dalam sebuah pernyataan, Rabu (23/11/2022).
Selama persidangan di Mahkamah Agung Inggris bulan lalu, pejabat tinggi hukum pemerintah Skotlandia, Dorothy Bain, mengatakan, mayoritas anggota parlemen Skotlandia telah dipilih berdasarkan komitmen untuk menggelar referendum kemerdekaan baru. Dia pun menekankan bahwa hasil referendum akan bersifat usulan, bukan mengikat secara hukum. Namun terlepas dari hal tersebut, jika mayoritas warga ternyata memilih “ya”, itu akan menciptakan momentum bagi Skotlandia untuk melepaskan diri dari Inggris.
Sementara itu pengacara pemerintah Inggris, James Eadie, mengatakan, kekuasaan untuk mengadakan referendum berada di tangan parlemen Inggris di London. “Sebab ini sangat penting bagi Inggris Raya secara keseluruhan,” ujarnya.
Bulan lalu, Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon mengatakan, dia yakin referendum kedua tentang kemerdekaan Skotlandia dari Inggris dapat berlangsung pada Oktober tahun depan. "Ya, saya yakin itu bisa terjadi. Mari kita tunggu dan lihat apa yang dikatakan pengadilan. Saya yakin Skotlandia merdeka," kata Sturgeon pada 9 Oktober lalu saat diwawancara BBC tentang potensi digelarnya referendum kemerdekaan Skotlandia dari Inggris.
Sturgeon berpendapat, ketika pemilih mendukung partai-partai pro-kemerdekaan dalam pemilihan parlemen Skotlandia tahun lalu, ada mandat bagi mereka mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk mengadakan referendum pada 19 Oktober 2023.
Dalam plebisit 2014, yang disetujui pemerintah Inggris, sebanyak 55 persen warga Skotlandia menolak kemerdekaan. Sementara 45 persen lainnya mendukung gagasan tersebut. Namun, Scottish National Party (SNP) berpendapat bahwa keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dua tahun kemudian adalah pengubah permainan.
Sturgeon telah berjanji bahwa kekalahan di Mahkamah Agung akan berarti SNP bakal bertarung dalam pemilihan umum Inggris berikutnya pada 2024. Hal itu semata-mata pada platform apakah Skotlandia harus merdeka, menjadikannya referendum 'de facto'. Menurut Sturgeon, itu adalah pilihan terakhir.
"Itu bukan preferensi saya. Jika rute yang tepat untuk mempertimbangkan dan memutuskan masalah ini, yang merupakan referendum konstitusional yang sah, diblokir, maka pilihannya sederhana: Kami menyerahkan kasus kami kepada rakyat dalam pemilihan atau kami menyerah pada demokrasi Skotlandia dan saya ingin menjadi sangat jelas hari ini, saya tidak akan pernah menyerah pada demokrasi Skotlandia,” ucap Sturgeon.
Pada Desember 2019, Sturgeon telah mengirim surat kepada mantan perdana menteri Inggris Boris Johnson untuk menggelar referendum kemerdekaan. Dia memang ingin referendum tersebut sah, legal, dan konstitusional.
Untuk mencapai hal itu, dia memerlukan izin dari Pemerintah Inggris. Namun Boris Johnson dengan tegas menolak mengabulkan permintaan Sturgeon. "Anda dan pendahulu Anda (Alex Salmond) membuat janji pribadi bahwa referendum 2014 adalah pemungutan suara 'sekali dalam satu generasi'," kata Johnson dalam suratnya kepada Sturgeon yang dirilis pertengahan Januari lalu, dikutip laman BBC.
Menurut Johnson, rakyat Skotlandia memilih dengan tegas janji itu untuk menjaga keutuhan Kerajaan Inggris. Dia mengatakan Pemerintah Inggris akan menjunjung tinggi keputusan demokratis rakyat Skotlandia dan janji yang dibuat pemimpinnya untuk mereka. "Untuk alasan itu, saya tidak bisa menyetujui permintaan transfer kekuasaan yang akan mengarah pada referendum kemerdekaan lebih lanjut," ujar Johnson.
Skotlandia telah menggelar referendum kemerdekaan pada 2014. Saat itu sebanyak 55 persen warga di sana menolak hal tersebut. Sturgeon mengatakan keadaan telah berubah sejak pemungutan suara 2014, terutama karena mayoritas masyarakat Skotlandia memilih untuk tetap berada di Uni Eropa dalam referendum Brexit tahun 2016. Sementara Inggris, secara keseluruhan, memilih untuk hengkang dari Uni Eropa.