Mengenal Hima, Konsep Konservasi dalam Peradaban Islam
IHRAM.CO.ID, Rasulullah SAW bersabda, Tempat tinggal yang paling menyenangkan adalah hima, andai saja di sana tak terdapat banyak ular. (HR Nasa’i). Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi, hima yang dimaksud dalam hadis itu adalah nama sebuah tempat di zaman Rasulullah yang di dalamnya terdapat padang rumput. Tempat itu tidak boleh dijadikan sebagai tempat mengembala, ujar Dr Syauqi. Pada zaman Nabi SAW, terdapat beberapa hima, antara lain, Hima ar-Rabadzah serta Hima an-Naqi. Hima an-Naqi terletak di dekat Madinah sebagai tempat kavaleri. Menurut dia, di tempat itulah umat Islam mengembala kuda-kudanya.
Hima an-Naqi ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW melarang berburu binatang pada radius empat mil di sekitar Kota Madinah. Selain itu, masyarakat juga dilarang merusak tanaman dalam radius 12 mil di sekitar kota tersebut. Sejatinya, hima merupakan wilayah konservasi untuk menjaga keseimbangan alam. Hima merupakan zona yang tak boleh disentuh atau digunakan untuk apa pun bagi kepentingan manusia. Tempat tersebut digunakan sebagai konservasi alam, baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan.
Dalam agama Islam, hima merupakan sebagai tempat perlindungan binatang dan tumbuhan. Sofia Hardani dalam tulisannya bertajuk Sistem Ekologi Menurut Syariat Islam mengungkapkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan alam termasuk dalam kerangka aturan Syariat. Menurut Omar Naseef, hima adalah kawasan yang didirikan secara khusus untuk perlindungan kehidupan liar dan hutan yang merupakan inti undang-undang lingkungan Islam. Karenanya, imbuh Sofia, hima adalah suatu usaha untuk melindungi hak-hak sumber daya alam yang asli.
Hima, kata dia, ditetapkan semata-mata untuk melestarikan kehidupan liar dan hutan. Di Indonesia, hima bisa disamakan dengan hutan cagar alam atau hutan lindung. Rasulullah SAW mencagarkan wilayah sekitar Madinah sebagai hima untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan kehidupan liar lainnya, papar Sofia. Sebagaimana Rasulullah SAW, para Khalifah menetapkan pula beberapa hima. Khalifah Umar Ibn Khattab, misalnya, menetapkan Hima al-Syaraf dan Hima al-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah, sedangkan Khalifah Usman bin Affan memperluas Hima al-Rabdah tersebut yang diriwayatkan mampu menampung 1000 ekor binatang setiap tahunnya.
Sejumlah hima yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan dianggap oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sebagai contoh pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia yang paling lama bertahan. Pada zaman Rasulullah dan Khalifaur Rasyidin, menjaga hima menjadi sebuah kewajiban religius dibandingkan kewajiban komunitas. Bahkan, para ulama juga sering menyerukan pentingnya hima. Agar sesuai dengan hukum Islam, sebuah hima itu harus memenuhi beberapa syarat yang telah dipraktikkan Nabi dan para khalifah.
Syarat hima itu, antara lain, pertama, harus berada di bawah perlindungan kekuasaan pemerintah Islam. Kedua, hima harus dikembangkan sesuai dengan jalan Allah SWT untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga, area yang dijadikan sebagai hima tidak boleh terlalu luas. Keempat, keberadaan hima harus lebih menguntungkan daripada merugikan masyarakat. Khalifah Umar bin Khattab pernah memerintahkan penjaga Hima al-Rabdah, Bukalah tanganmu bagi orang-orang yang membutuhkan, dengarkanlah keluhan orang-orang yang tertindas, biarkanlah para gembala yang hidupnya bergantung pada unta dan domba masuk ke dalam hima.
Menurut Khalifah Umar, semua properti itu milik Allah SWT. Dan semua makhluk di muka bumi ini tiada lain adalah hamba Allah. Jika bukan karena Allah, aku tidak akan melindungi tanah ini (hima), papar Umar. Nabi Muhammad dan para kalifah secara tegas menegakkan hukum untuk melindungi hima. Dalam ajaran Islam, hima menjadi tempat yang diharamkan untuk perburuan dan menjadi tempat yang sakral sehingga binatang dan tumbuhan yang di dalamnya dilindungi. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin-Khattab, ada seorang komandan perang bernama Sa'ad bin Abi Waqqas menemukan seorang budak memotong tumbuhan yang ada di dalam hima.
Kemudian, Sa'ad bin Abi Waqqas memukul budak tersebut dan mengambil kapak dari tangannya. Lalu wanita yang merupakan saudara si budak mendatangi Khalifah Umar dan melaporkan apa yang dilakukan Sa'ad terhadap budak tersebut. Kemudian, Umar berkata, Kembalikan kapak dan baju budak tersebut. Semoga Allah SWT mengampunimu. Sa‘ad menolak dan berkata, Saya tidak akan melanggar apa yang Nabi SAW perintahkan kepada saya. Tetapi, jika kamu suka, saya akan mengganti rugi.
Kemudian, Sa‘ad mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda, Siapa pun yang melihat seseorang memotong pohon di dalam hima, dia harus memukul orang yang memotong pohon tersebut dan menyita alat yang digunakan untuk memotong pohon tersebut. Setelah itu, Khalifah Umar menerapkan hukuman tersebut bagi siapa saja yang merusak pohon di wilayah hima. Di Kota Madinah, ketika sahabat Nabi Abu Sa‘id al-Khudri, melihat seekor burung berada di tangan beberapa pemuda, dia mengambil burung tersebut dari tangan pemuda itu dan membebaskan burung tersebut terbang ke alam bebas.
Sementara itu, sahabat Nabi Abu Ayyub al-Ansari pernah melihat beberapa anak laki-laki mengepung seekor rubah di sebuah sudut Kota Madinah. Kemudian, dia berkata, Ini merupakan tanah yang diharamkan untuk berburu. Sedangkan Abu Hurairah pernah berkata, Jika aku melihat kijang di Madinah, aku tidak akan mengganggu mereka.