Polisi China Mulai Selidiki Warga yang Mengikuti Protes
Warga China diperiksa apakah mereka berada di tengah aksi protes kemarin.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pihak berwenang China telah mulai menyelidiki beberapa orang yang berkumpul pada protes akhir pekan menentang pembatasan Covid-19. Laporan ini diungkap oleh tiga orang yang berada di demonstrasi Beijing dan mendapatkan panggilan.
Dalam satu kasus, seorang penelepon yang mengidentifikasi sebagai petugas polisi di ibu kota China meminta pengunjuk rasa untuk datang ke kantor polisi pada Selasa (29/11/2022). Kunjungan itu dilakukan untuk menyampaikan catatan tertulis tentang kegiatan mereka pada Ahad (27/11/2022) malam.
Pada kasus lain, seorang mahasiswa dihubungi oleh perguruan tingginya. Dia ditanya apakah pernah berada di area tempat acara berlangsung dan untuk memberikan laporan tertulis.
"Kami semua mati-matian menghapus riwayat obrolan kami," kata seorang pengunjuk rasa Beijing yang menolak disebutkan namanya kepada Reuters.
"Polisi terlalu banyak. Polisi datang untuk memeriksa kartu identitas salah satu teman saya dan kemudian membawanya pergi. Kami tidak tahu kenapa. Beberapa jam kemudian mereka melepaskannya," ujarnya.
Ibu kota provinsi timur Zhejiang, Hangzhou, dalam video di media sosial yang tidak dapat diverifikasi Reuters secara independen menunjukkan, ratusan polisi menduduki lapangan besar pada Senin malam, mencegah orang berkumpul. Satu video menunjukkan polisi, dikelilingi oleh sekelompok kecil orang yang memegang ponsel pintar melakukan penangkapan, sementara yang lain berusaha menarik kembali orang yang ditahan.
Sedangkan di Shanghai dan Beijing, polisi berpatroli di daerah tempat beberapa grup di layanan pesan Telegram menyarankan orang untuk berkumpul lagi. Kehadiran polisi pada Senin sore dan malam memastikan tidak ada pertemuan yang terjadi.
"Jumlah polisi yang banyak, sungguh menakutkan," kata penduduk Beijing Philip Qin yang menyaksikan protes pada Ahad.
Penduduk mengatakan polisi telah meminta telepon kepada orang-orang yang melewati daerah itu untuk memeriksa apakah memiliki jaringan pribadi virtual (VPN) dan aplikasi Telegram yang telah digunakan oleh pengunjuk rasa. VPN ilegal bagi kebanyakan orang di China, sedangkan aplikasi Telegram diblokir dari internet China.
Ketidakpuasan yang membara dengan kebijakan pencegahan Covid-19 yang sudah berlangsung sepanjang tiga tahun memicu protes yang lebih luas di berbagai kota selama akhir pekan. Gelombang pembangkangan sipil terbesar di China sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade lalu datang ketika jumlah kasus Covid-19 mencapai rekor tertinggi setiap hari dan sebagian besar kota menghadapi penguncian baru.
Covid-19 di China terus menyebar meskipun sebagian besar dari 1,4 miliar penduduknya berupaya mencegah penularan dengan mematuhi kebijakan "zero-Covid" untuk memberantas semua wabah dan mempertahankan pengaturan perbatasan yang ketat. Penguncian telah memperburuk salah satu pelambatan paling tajam dalam pertumbuhan yang dialami China dalam beberapa dekade, mengganggu rantai pasokan global dan pasar keuangan yang bergolak.
Surat kabar resmi Partai Komunis People's Daily dalam tajuk rencana pada Selasa, tidak menyebutkan tentang protes. Namun, media itu mendesak warga untuk dengan teguh menerapkan kebijakan "zero-Covid". Tindakan itu dinilai mengutamakan kehidupan orang, dengan mengatakan bahwa kemenangan akan datang melalui ketekunan melalui ribuan kesulitan.
"Semakin sulit, semakin Anda harus menjaga tekad," kata tajuk tersebut.