Ketika China Lebih Liberal Di Bawah Presiden Jiang Zemin
Era Jiang sebagai masa optimisme, harapan untuk ekonomi liberalisasi dan kebebasan
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Mantan Presiden China Jiang Zemin, meninggal dunia dalam usia 96 tahun pada Rabu (30/11). Kematian Jiang memicu gelombang nostalgia ketika China mengalami masa pemerintahan yang lebih liberal.
Jiang meninggal di kampung halamannya di Kota Shanghai tepat setelah tengah hari pada Rabu. Kantor berita Xinhua melaporkan, Jiang meninggal dunia karena leukemia dan kegagalan berbagai organ.
"Kematian Kamerad Jiang Zemin merupakan kerugian yang tak terhitung bagi Partai kami dan militer kami dan orang-orang kami dari semua kelompok etnis," ujar pernyataan Partai Komunis China dalam sebuah surat.
Kematian Jiang terjadi pada saat China mengalami gejolak. Aksi protes terjadi di berbagai kota di China karena penduduk muak dengan pembatasan Covid-19 yang ketat hampir tiga tahun.
Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengedepankan kebijakan "zero Covid". Sejumlah wilayah di China masih mengalami penguncian ketat, ketika dunia mulai hidup berdampingan dengan Covid-19. Presiden Xi belum lama ini memperpanjang masa jabatan ketiga dan mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin paling kuat di China sejak Mao Zedong.
Xi telah membawa China ke arah yang semakin otoriter sejak menggantikan penerus Jiang, Hu Jintao. China juga berada di tengah perlambatan ekonomi cukup tajam, yang diperburuk oleh strategi "zero-Covid".
Beberapa orang Tionghoa mengungkapkan nostalgia era Jiang sebagai masa optimisme serta harapan untuk ekonomi liberalisasi dan kebebasan politik. Banyak warga China yang mengunggah video dan gambar pertemuan Jiang dengan mantan Presiden AS Bill Clinton di media sosial. Termasuk satu foto di mana semua orang tersenyum saat Jiang memimpin band militer saat membawakan lagu kebangsaan China. Para pengguna platform media sosial, Weibo menggambarkan kematian Jiang sebagai akhir dari sebuah era.
"Saya sangat sedih, tidak hanya untuk kepergiannya, tetapi juga karena saya benar-benar merasa bahwa sebuah era telah berakhir," tulis seorang pengguna Weibo yang berbasis di Provinsi Henan.
"Seolah-olah apa yang telah terjadi belum cukup, Tahun 2022 memberi tahu orang-orang dengan cara yang lebih brutal bahwa sebuah era telah berakhir," tulis seorang pengguna Weibo lainnya yang berada di Beijing.
Profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Singapura, Alfred Wu, menyebut Jiang adalah seorang legenda.
"Sekarang kami 'terlalu sederhana, terkadang naif' karena kami mengira rezim akan berbaris menuju keterbukaan, transparansi, dan demokrasi," katanya, merujuk pada pernyataan Jiang kepada wartawan Hong Kong pada tahun 2000.
Situs media China, termasuk People's Daily dan Xinhua berubah menjadi hitam dan putih sebagai tanda berkabung atas kematian Jiang. Dalam suratnya, Partai Komunis menggambarkan Jiang sebagai pemimpin luar biasa dengan prestise tinggi. Partai Komunis menyebut Jiang sebagai seorang Marxis yang hebat, negarawan, ahli strategi militer dan diplomat, serta pejuang komunis yang telah lama teruji.
Jiang memimpin Partai Komunis China yang berkuasa setelah penumpasan Tiananmen. Dia memperbaiki hubungan China dengan Amerika Serikat, dan berperan dalam meningkatkan perekonomian negara.
Jiang menjabat sebagai presiden dari 1993 hingga 2003. Namun dia memegang jabatan tertinggi di China, sebagai kepala Partai Komunis yang berkuasa sejak 1989. Dia menyerahkan peran itu kepada Hu pada 2002. Jiang melepaskan posisi sebagai kepala militer pada 2004.
Jiang memiliki peran kuat di Komite Tetap Politbiro. Dia membentuk "anak didiknya" di komite itu yang disebut "Gang Shanghai". Tetapi pada tahun-tahun setelah Jiang pensiun dari jabatan terakhirnya, Hu mulai mengkonsolidasikan cengkeramannya. Dia menetralkan Gang Shanghai dan menunjuk Xi sebagai penggantinya.