Roti Prancis Baguette Masuk Budaya Tak Benda UNESCO
Baguette dinilai sebagai tradisi berharga yang harus dilestarikan oleh umat manusia
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Baguette yang menjadi ikon roti Prancis di seluruh dunia telah ditambahkan ke daftar warisan budaya tak benda UNESCO. Makanan ini dinilai sebagai tradisi berharga yang harus dilestarikan oleh umat manusia.
Para pakar UNESCO yang berkumpul di Maroko pekan ini memutuskan roti panjang yang hanya terbuat dari tepung, air, garam, dan ragi ini layak mendapatkan pengakuan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Langkah ini diambil setelah Kementerian Kebudayaan Prancis memperingatkan tentang penurunan terus-menerus dalam jumlah toko roti tradisional, dengan sekitar 400 toko tutup setiap tahun selama setengah abad terakhir.
Kepala Badan Kebudayaan PBB Audrey Azoulay mengatakan keputusan itu menghormati lebih dari sekadar roti. Penetapan itu mengakui savoir-faire artisan pembuat roti dan ritual harian.
UNESCO mendefinisikan warisan budaya tak benda sebagai tradisi atau ekspresi hidup yang diwariskan dari nenek moyanga dan diwariskan kepada keturunannya. "Penting agar pengetahuan kerajinan dan praktik sosial semacam itu dapat terus ada di masa depan," ujar mantan menteri kebudayaan Prancis itu merujuk kepada keberadaan baguette.
Dengan status baru bagi roti tersebut, pemerintah Prancis mengatakan akan membuat hari baguette artisanal yang disebut "Open Bakehouse Day". Acara ini diadakan untuk menghubungkan Prancis lebih baik dengan warisan mereka.
Pembuat roti pun tampak bangga, meski tidak terkejut. "Tentu harus ada dalam daftar karena baguette melambangkan dunia. Ini universal," kata tukang roti di Julien's Bakery dekat jalan Champs-Elysees Paris Asma Farhat.
"Jika tidak ada baguette, Anda tidak bisa mendapatkan makanan yang layak. Di pagi hari Anda bisa memanggangnya, untuk makan siang itu sandwich, dan kemudian menemani makan malam," ujarnya.
Meskipun tampak seperti produk klasik Prancis, baguette dikatakan telah ditemukan oleh pembuat roti kelahiran Wina August Zang pada 1839. Zang menggunakan oven uap Prancis, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan roti dengan atasan yang rapuh dengan bagian dalam yang lembut.
Posisi atas baguette tidak datang sampai tahun 1920-an, dengan munculnya undang-undang Prancis yang mencegah pembuat roti bekerja sebelum pukul 04.00. Bentuk baguette yang panjang dan tipis berarti dapat dibuat lebih cepat daripada roti lainnya, sehingga itu satu-satunya roti yang bisa disajikan tepat waktu untuk sarapan.
Terlepas dari penurunan jumlah toko roti tradisional saat ini, 67 juta orang Prancis masih tetap menjadi konsumen baguette yang rakus. Roti ini dibeli di berbagai titik penjualan, termasuk di supermarket. Masalahnya, kata para pengamat, sering kali kualitasnya buruk.
"Sangat mudah mendapatkan baguette jelek di Prancis. Ini adalah baguette tradisional dari toko roti tradisional yang dalam bahaya. Ini tentang kualitas bukan kuantitas,” kata seorang warga Paris Marine Fourchier.
Pada Januari, jaringan supermarket Prancis Leclerc dikritik oleh pembuat roti dan petani tradisional karena baguette seharga 29 sen euro yang banyak dijual dituduh mengorbankan kualitas roti sepanjang 65 sentimeter yang terkenal itu. Sebuah baguette biasanya berharga lebih dari 90 sen euro yang dilihat oleh beberapa orang sebagai indeks kesehatan ekonomi Prancis.
Baguette memang bisnis yang serius. Sebuah lembaga terhormat yang mengikuti dengan cermat sejarah baguette Bread Observatory Prancis mencatat orang Prancis mengunyah 320 baguette dari satu bentuk atau lainnya setiap detik. Jumlah tersebut menunjukkan rata-rata setengah baguette per orang per hari dan 10 miliar setiap tahun.