Sidebar

Masjid Asy-Syafaah Singapura Menjembatani Masa lalu dan Masa Depan

Friday, 02 Dec 2022 22:28 WIB
Masjid Asy-Syafah Singapura.

IHRAM.CO.ID, Sinar matahari menelusup masuk, menerpa deretan kerawang aluminium berpola arabesk, merupa sebentuk bayangan bercitra abstrak di lantai Masjid Asy-Syafaah, Singapura. Bayangan nirmakna itu seakan memberi hikmah kepada para jamaah bahwa Dia Yang Maha Mewujud justru ditemukan dalam ruang yang taksa.

Baca Juga


Struktur busur beton melengkung kokoh, mengingatkan agar setiap makhluk selalu tunduk, bukannya mendongak pongah ketika berjalan di muka bumi-Nya. Sementara lelangit ruangan shalat mengawang tajam. Menciptakan skala yang membuat siapa pun yang terduduk di dalamnya merasa teramat kecil.

Siapa nyana kalau arsitek  Masjid Asy-Syafaah, Tan Kok Hiang yang non-Muslim, mampu mengartikulasikan semua prinsip dasar arsitektur Islam itu dengan mulus. Dia menjadikan As-Syafaah sebagai monumen penafsiran Islam secara kontemporer tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya.

Tan mengakui, pilihannya membuat ruang sembahyang dengan langit-langit yang ditinggikan, untuk membuat ruang yang mendominasi pengguna. Desain ini menciptakan suasana yang menyadarkan akan keberadaan Tuhan, tuturnya dalam wawancara dengan Architecture Week, 2005.

Ritus ibadah dimulai dari basemen, tempat Ruang Bersuci terletak. Walau terletak di bawah level tanah, Tan mengatur pencahayaan alami bisa masuk ke ruangan itu. Setelah berwudlu, jamaah menaiki tangga menuju ruang sembahyang yang disebut Dewan Solat Utama.

Sebelum memasuki Dewan Solat Utama, jamaah disambut teras berlapis karpet dengan struktur beton membusur di atasnya. Tan menamainya ‘Ruang Jeda’. Ini tempat jamaah mengumpulkan ketenangan diri sebelum memasuki sebuah suaka, ujar Tan menjelaskan.

Busur beton itu adalah struktur utama penopang ruang sembahyang bertingkat tiga, termasuk Dewan Solat Wanita, deretan kelas, daerah administrasi, dan ruang serbaguna.  Untuk mengatasi bentangan selebar 20 meter, Tan menggunakan beton yang diperkuat baja jangkar tarik dan sengkang polimer.

Sengkang di dalam busur itu, kata Tan, bersusun mengikuti lengkungan busur namun semakin ke atas, kerapatannya berkurang. Struktur busur itu merupakan tantangan tersulit sampai mencapai titik yang tamam. Hanya, niatnya mengekspos permukaan beton tak bisa terlaksana karena keinginan klien.

Tan mendapat tantangan tersendiri ketika mendesain masjid di lingkungan yang majemuk. Masjid Asy-Syafaah berdiri di blok 491 Sembawang, terletak di kawasan utara Singapura. Daerah ini merupakan permukiman berkepadatan tinggi yang penduduknya heterogen.

Di lokasi itu, ada berbagai kutub etnis hidup seberang-menyeberang. Sebut saja, etnis Cina yang mayoritas, kelompok penduduk asli Melayu, ras India, dan Asia lainnya, juga pendatang dari Barat. Karena itu, perencanaan dan perancangan masjid itu mesti dilakukan dengan cermat untuk menghindarkan gesekan horizontal.

Selain itu, Negeri Singa pun lekat dengan identitas negara termaju di Asia Tenggara. Keragaman Singapura membuat semuanya harus hidup berdampingan dengan damai, atau setidaknya, dalam hubungan yang paling toleran, katanya.

Bisa dibilang, Masjid Asy-Syafaah merupakan adikarya Tan mengatasi tantangan-tantangan tadi. Desain masjid yang terlampau Melayu akan membuat komunitas Cina tidak nyaman. Sementara bangunan yang berbau Timur Tengah akan menjadi asing bagi budaya kami, paparnya.

Dia tak bisa berpaling dari fakta bahwa umat Muslim di sana hanya komunitas minoritas dengan populasi sekitar 15 persen dari total penduduk Singapura. Karena itulah, dia memilih untuk meninggalkan simbol-simbol yang tak mendasar walau jamak ditemukan membentuk citra masjid.

Hasilnya, masjid ini tampil tanpa kubah dan bulan-bintang di pucuknya. Keterkaitan simbol-simbol itu dengan konteks budaya Melayu di Singapura hanya sedikit, katanya. Dia menonjolkan dengan tegas menara masjid sebagai identitas bangunan milik Majilis Ugama Islam Singapura (MUIS) ini.

Namun, langkah Tan dipandang terlampau radikal oleh beberapa petinggi MUIS, terutama golongan tua yang menganggap masjid bagai tak afdal tanpa simbol bulan-bintang. Setelah melalui diskusi, akhirnya peletakan simbol agak di bawah puncak menara diambil sebagai bentuk kompromi.

Motif arabesk demikian menonjol dalam desain masjid itu. Motif arabesk dipakai untuk kerawang, menjadikan masjid ini terhawakan alami. Jamaah di ruang sembahyang dapat merasakan semilir angin yang sejuk. Selain digunakan untuk kerawang, motif arabesk juga dipakai untuk berbagai elemen interior termasuk karpet.

Perlu diingat, desain selubung yang demikian terbuka punya konsekuensi serius di iklim tropis. Curah hujan yang menyapu sepanjang tahun membuat air tempias menerobos hingga ke dalam bangunan. Untungnya, ventilasi alami yang Tan buat, cepat menguapkan kebecekan. 

Penggunaan arabesk yang masif semacam bentuk kompromi Tan terhadap eliminasi kubah dan simbol bulan-bintang dalam membentuk identitas bangunan milik umat Islam. Menurut dia, motif arabesk menyimbolkan lima aspek penting Alquran: selesai, tak hingga, jelas, neka-inti, dan mengagumkan.

Berita terkait

Berita Lainnya