AYPI: Tantangan Guru Mengajar ke Depan Makin Berat

Guru harus memperbaiki mutu dan metodologi.

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Sejumlah siswa-siswi membasuh kaki guru sebagai tanda penghormatan seusai upacara peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2022 di Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS) Harapan Bangsa dan Madrasah Ibtidayah Negeri 11 Aceh Barat Desa Kuta Padang, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Jumat (25/11/2022). Rangkaian peringatan hari guru nasional di Aceh dikemas dengan aksi berbakti kepada guru seperti membasuh kaki guru dan menyuapkan nasi kepada guru dengan tujuan untuk menanamkan rasa hormat kepada guru yang telah memberikan bimbingan serta ilmu pengetahuan dalam memajukan dan meningkatkan pendidikan di Indonesia.
Rep: Shabrina Zakariya Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR— Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI) menyebutkan, tantangan guru dalam mengajar ke depannya semakin berat. Lantaran, saat ini guru dihadapi dengan fenomena anak-anak yang terpengaruh penggunaan internet.

Baca Juga


Ketua Umum AYPI dan Pendiri Fajar Hidayah, Mirdas Eka Yora, dalam seminar ‘Menjadi Guru Bangsa yang Melahirkan Peradaban dan Berkeadaban’ di Kabupaten Bogor, menyebutkan pengguna internet yang terpengaruh penggunaan internet rata-rata berusia 5 hingga 8 tahun. Sebab, anak-anak saat ini telah menjadi pengguna internet yang aktif.

Menurut Mirdas, internet memang membuat pembelajaran lebih mudah. Namun tidak ada keseimbangan dalam kepribadian anak itu sendiri.

“Anak jadi eksplosif, egois, pacaran di usia dini, melakukan bullying (perundungan) dan kekerasan di usia dini. Ini fenomena baru terjadi, terdapat ketidakseimbangan dalam pertumbuhan anak,” kata Mirdas di Aula DPRD Kabupaten Bogor, Sabtu (3/12/2022).

Mirdas menjelaskan, berdasarkan penuturan Ulama Besar, Abdullah bin Mubarak, mempelajari ilmu membutuhkan waktu 20 tahun. Namun dalam mempelajari adab, diperlukan waktu 30 tahun.

“Kami, guru agama, adalah yang paling bertanggung jawab. Kita harus memperbaiki cara kita mengajar,” tuturnya.

Di samping itu, Mirdas menegaskan, dalam menjadi guru ada tiga hal yang menjadi kunci utama. Pertama, memandang anak didik menjadi anak kandung saat mengajar. Kedua, tidak menjadikan mengajar sebagai beban. Terakhir, jangan menjadikan tujuan mengajar sebagai sejumput dunia.

Saat ini, kata dia, banyak pendidikan yang mengarah ke sekulerisasi hebat. Sehingga tangangan untuk guru agama semakin berat ke depannya. Apalagi, anak-anak yang masih berusia dini masih erat hubungannya dengan penggunaan internet dan media sosial.

“Guru harus memperbaiki mutu dan metodologi kita. Jangan harap mengajar dan memperbaiki anak bisa dalam waktu yang sama. Metodologi lebih lenting daripada materi, tapi guru lebih penting daripada metodologi,” tegasnya.

Kasubdit Direktorat Bina Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI, Anis Masykur, mengatakan tema seminar hari ini penting. Apalagi ketika guru mendidik tanpa disertai cinta.

Menurutnya, guru agama harus terus belajar. Sebab, menurut hadits, pembelajar yang inovatif, kreatif, dan semangat, akan mendapat jalan menuju surga. Hal tersebut berlaku bagi guru yang tidak hanya sekadar ustadz, namun sebagai mursyid (guru yang mengajarkan tentang suatu ajaran tarekat, dan membimbing murid untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan).

“Statusnya lebih mulia daripada PPPK dan tunjangan sertifikasi. Jangan guru sampai gugur mengorbankan keikhlasan,” ujarnya.

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler