Harga Minyak Stabil Seiring Batas pada Minyak Mentah Rusia

Minyak mentah Brent mencapai sekitar 86 dolar AS dalam perdagangan Asia.

Logo OPEC. Harga minyak stabil pada Senin (5/12/2022) setelah kesepakatan oleh negara-negara G7 dan sekutu untuk membatasi harga minyak Rusia.
Rep: Fergi Nadira Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Harga minyak stabil pada Senin (5/12/2022) setelah kesepakatan oleh negara-negara G7 dan sekutu untuk membatasi harga minyak Rusia. Minyak mentah Brent mencapai sekitar 86 dolar AS dalam perdagangan Asia.

Baca Juga


Batas harga disepakati setelah kelompok produsen minyak OPEC+ setuju untuk tetap berpegang pada kebijakannya mengurangi produksi, di tengah pertumbuhan global yang lebih lambat dan suku bunga yang lebih tinggi.

"Keputusan OPEC+ untuk mempertahankan kuota ini dengan sendirinya merupakan semacam dukungan implisit untuk pasar minyak," kata Kang Wu dari S&P Global Commodity Insights dikutip laman BBC, Senin.

OPEC+ adalah kelompok yang terdiri dari 23 negara pengekspor minyak, termasuk Rusia, yang bertemu secara rutin untuk memutuskan berapa banyak minyak mentah yang akan dijual di pasar dunia. Pedagang juga menilik data pekerjaan AS yang kuat dan pelonggaran pembatasan Covid di beberapa kota di China.

Lebih banyak kota di China, termasuk Urumqi di barat laut, mengatakan mereka akan melonggarkan pembatasan setelah protes massal terhadap kebijakan nol-Covid negara itu. "Keyakinan bahwa China dapat mempercepat rencana pembukaan kembali telah memicu optimisme di pagi hari," kata Stephen Innes, mitra pengelola di SPI Asset Management.

Namun dia memperingatkan agar tidak mengharapkan harga minyak lebih tinggi dengan pembukaan kembali China, karena akan ada lonjakan besar dalam kasus Omicron, yang dapat menjaga mobilitas turun setidaknya hingga kuartal pertama tahun depan. Dalam pernyataan bersama pekan lalu, G7 dan Australia mengatakan batas 60 dolar AS untuk minyak Rusia akan mulai berlaku pada Senin atau "segera sesudahnya".

G7 mengatakan, bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk mencegah Rusia mengambil untung dari perang agresi melawan Ukraina. Batas harga diajukan oleh G7 pada September dan bertujuan untuk menghentikan Moskow mengambil untung dari ekspor minyak sambil menghindari lonjakan harga.

Artinya, hanya minyak Rusia yang dibeli dengan harga kurang dari 60 dolar AS per barel yang diizinkan untuk dikirim menggunakan kapal tanker G7 dan UE, perusahaan asuransi, dan lembaga kredit. Kendati begitu, hal ini dapat mempersulit Moskow untuk menjual minyaknya dengan harga lebih tinggi, karena banyak perusahaan pengapalan dan asuransi besar berbasis di G7.

 

G7 adalah organisasi dari tujuh ekonomi "maju" terbesar di dunia, yang mendominasi perdagangan global dan sistem keuangan internasional. Mereka adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

Harga minyak dan gas melonjak di tengah kekhawatiran bahwa invasi Rusia ke Ukraina dapat menekan pasokan. Rusia adalah produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi, dan memasok sekitar sepertiga dari kebutuhan Eropa.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan batas harga juga akan semakin membatasi keuangan Presiden Rusia Vladimir Putin. Batas harga menurutnya juga membatasi pendapatan yang digunakan untuk mendanai invasi brutalnya sambil menghindari gangguan pasokan global.

Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebut pembatasan itu "posisi lemah" yang tidak cukup serius untuk merusak ekonomi Rusia. Sementara Rusia mengatakan tidak akan menerima batasan harga, dan mengancam akan menghentikan ekspor minyak ke negara-negara yang mengadopsi langkah-langkah tersebut.

Larangan di seluruh Uni Eropa atas minyak mentah Rusia yang diimpor melalui laut juga akan berlaku pada Senin. Meskipun langkah-langkah tersebut pasti akan dirasakan oleh Rusia, pukulan tersebut sebagian akan dilunakkan oleh langkahnya untuk menjual minyaknya ke pasar lain seperti India dan China, yang saat ini merupakan pembeli tunggal terbesar minyak mentah Rusia.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler