Thomas Djamaluddin: Awal Waktu Subuh LF PBNU Sesuai Kriteria Kemenag

Tidak ada perbedaan waktu awal subuh di tengah masyarakat.

Republika/Putra M. Akbar
Peneliti Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional-Badan Riset dan Inovasi Nasional (Lapan-BRIN) Prof Thomas Djamaluddin.
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional-Badan Riset dan Inovasi Nasional (Lapan-BRIN) Prof Thomas Djamaluddin menyampaikan pandangannya ihwal waktu Subuh di ketinggian minus 20 derajat sebagaimana ditetapkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU).

Baca Juga


Thomas mengatakan LF PBNU punya tim pemantau waktu fajar dengan menggunakan Sky Quality Meter dan kamera DSLR yang lazim digunakan dalam astronomi. Tim dari LF PBNU itu melakukan pengukuran di banyak lokasi. "Keputusan LF PBNU sama dengan kriteria yang selama ini digunakan oleh Kementerian Agama," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (13/12/2022).

Karena sesuai dengan kriteria MABIMS yang digunakan Kementerian Agama (Kemenag), menurut Thomas, maka tidak akan mengakibatkan perbedaan waktu awal Subuh di tengah masyarakat. Hanya saja, dia menilai, ada perbedaan awal waktu Subuh dengan keputusan Muhammadiyah yang tidak menggunakan kriteria Kemenag.

Sidang Pleno IV Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah pada 2021 telah menetapkan ketinggian matahari awal waktu Subuh yang baru, yaitu minus 18 derajat. Keputusan itu tercantum di dalam Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 734/KEP/I.0/B/2021 tentang tanfidz keputusan musyawarah nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang kriteria awal waktu Subuh.

Thomas mengatakan persoalan waktu sholat Subuh kerap membingungkan masyarakat karena adanya pendapat yang menyatakan jadwal sholat Subuh dianggap terlalu awal. Dia menuturkan, dari segi dalil syar’i maupun logika astronomi, jadwal sholat oleh Kemenag sudah benar.

Kemenag pada Juli lalu telah bekerja sama dengan Pusat Riset Antariksa BRIN untuk melakukan pengamatan di kawasan Observatorium Nasional Timau di Kupang. Alasan mengapa pengamatan dilakukan di sana adalah karena langit Timau sangat cerah pada musim kemarau, masih sangat gelap, dan jauh dari polusi cahaya sehingga galaksi Bimasakti terlihat jelas.

"Tim melakukan pengukuran dengan menggunakan empat alat utama, yaitu dua SQM dan dua kamera perekam citra ufuk timur," kata dia.

Dalam pengamatan tersebut, Thomas menjelaskan, fajar shadiq atau fajar astronomi dicirikan dengan kemunculan cahaya yang semakin terang dengan cepat. Pada kurva cahaya, kemunculan fajar shadiq dicirikan dengan mulai menurunkan kurva meninggalkan fungsi linier.

"Dan itu terjadi pada posisi matahari minus 20 derajat. Jadi, data pengukuran dari kawasan Obsrvatorium Nasional Timau, sekali lagi, membuktikan jadwal sholat Subuh dari Kemenag sudah benar," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler