Jepang Naikkan Kekuatan Militer Terbesar Sejak Perang Dunia II
Jepang akan jadi pembelanja militer terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China
REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang meluncurkan pembangunan militer terbesarnya sejak Perang Dunia II pada Jumat (16/12/2022). Pemerintah berencana menggelontorkan 320 miliar dolar AS untuk pembelian rudal.
Anggaran ini untuk pengeluaran selama lima tahun dan akan menjadikan negara itu pembelanja militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China, berdasarkan anggaran saat ini. Padahal Tokyo sebelumnya memilih sebagai negara pasif.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menggambarkan Jepang dan rakyatnya berada pada titik balik dalam sejarah. Dia mengatakan, peningkatan itu adalah jawaban atas berbagai tantangan keamanan yang Tokyo hadapi.
Pemerintah Kishida khawatir bahwa Rusia telah menetapkan preseden yang akan mendorong China untuk menyerang Taiwan, mengancam pulau-pulau Jepang di dekatnya. Upaya ini akan mengganggu pasokan semikonduktor canggih dan berpotensi mencekik jalur laut yang memasok minyak Timur Tengah.
"Ini merupakan arah baru bagi Jepang. Jika dilaksanakan dengan tepat, Pasukan Bela Diri akan menjadi kekuatan nyata kelas dunia yang efektif,” kata mantan laksamana Pasukan Bela Diri Maritim yang memimpin armada Jepang pada 2008 Yoji Koda.
Pemerintah Jepang mengatakan, akan menimbun suku cadang dan amunisi lainnya, memperluas kapasitas transportasi, dan mengembangkan kemampuan perang dunia maya. Dalam konstitusi pascaperangnya yang dibuat oleh AS, Jepang menyerahkan hak untuk mengobarkan perang dan sarana untuk melakukannya.
"Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pelanggaran serius terhadap undang-undang yang melarang penggunaan kekuatan dan mengguncang fondasi tatanan internasional," kata makalah strategi itu.
"Tantangan strategis yang ditimbulkan oleh China adalah yang terbesar yang pernah dihadapi Jepang," ujarnya menambahkan China tidak mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk membawa Taiwan di bawah kendalinya.
Dokumen strategi keamanan nasional terpisah yang menunjuk ke China, Rusia, dan Korea Utara, menjanjikan kerja sama yang erat dengan AS dan negara-negara lain yang berpikiran. Kelompok negara ini mencoba mencegah ancaman terhadap tatanan internasional yang telah mapan.
"Perdana Menteri membuat pernyataan strategis yang jelas dan tidak ambigu tentang peran Jepang sebagai penyedia keamanan di Indo-Pasifik," ujar Duta Besar AS untuk Jepang Rahm Emanuel mengatakan dalam sebuah pernyataan. "
Rencana Kishida akan menggandakan pengeluaran pertahanan menjadi sekitar dua persen dari produk domestik bruto selama lima tahun, melampaui batas pengeluaran sepersen yang diberlakukan sendiri sejak 1976. Ini akan meningkatkan anggaran Kementerian Pertahanan menjadi sekitar sepersepuluh dari semua pengeluaran publik pada tingkat saat ini.
Berbelanja secara royal akan memberikan pekerjaan kepada pembuat peralatan militer Jepang seperti Mitsubishi Heavy Industries (MHI). Perusahan ini diperkirakan akan memimpin pengembangan tiga rudal jarak jauh yang akan menjadi bagian dari kekuatan rudal baru Jepang.
MHI juga akan membangun jet tempur Jepang berikutnya bersama BAE Systems PLC dan Leonardo SPA dalam proyek bersama antara Jepang, Inggris, dan Italia yang diumumkan minggu lalu. Tokyo mengalokasikan 5,6 miliar dolar AS untuk itu dalam program pertahanan lima tahun.
Perusahaan asing juga akan diuntungkan. Jepang mengatakan ingin meluncurkan rudal jelajah Tomahawk AS buatan Raytheon Technologies yang diluncurkan kapal untuk menjadi bagian dari kekuatan pencegah barunya. Senjata lain dalam daftar belanja militer Jepang selama lima tahun ke depan termasuk rudal pencegat untuk pertahanan rudal balistik, drone serang dan pengintai, peralatan komunikasi satelit, pesawat tempur siluman Lockheed Martin F-35, helikopter, kapal selam, kapal perang, dan jet angkut berat.
Untuk membayar peralatan itu, menurut blok penguasa Kishida, pemerintah akan menaikkan pajak pendapatan tembakau, perusahaan, dan rekonstruksi bencana. Namun, dengan penentangan terhadap kenaikan pajak di dalam partai Liberal Demokrat yang berkuasa masih kuat, pemimpin Jepang itu belum mengatakan kapan akan menerapkan tarif yang lebih tinggi itu.