Skuad Multikultural Prancis Piala Dunia dan Ketegangan Rasial yang Menyertainya
Prestasi Prancis tidak menghapus ketegangan rasial yang ada.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pada perebutan juara Piala Dunia 2022 Qatar, timnas Prancis akan bertanding melawan timnas Argentina. Demi mempertahankan juara Piala Dunia tahun 2018, timnas Prancis akan berjuang menghadapi timnas Argentina yang memiliki pemain Greatest of All Time (GOAT), Lionel Messi.
Kesuksesan Prancis dalam pertandingan Piala Dunia tidak terlepas dari kontribusi para pemainnya yang multikultural. Sebelum adanya Kylian Mbappe, Prancis sudah mempunyai deretan bintang keturunan luar. Misal, Zinedine Zidane yang merupakan generasi kedua imigran Aljazair dari daerah kelas pekerja di Marseille.
Rekor juara Piala Dunia pertama kali dicetak pada tahun 1998 yang membawa Prancis pada tim multikultural baru yang bersatu di bawah satu bendera. Tim yang biasanya dikenal sebagai Les Bleus, kini dijuluki Black, Blanc, Beur (Hitam, Putih, dan Arab) di media selama turnamen tahun 1998.
Prestasi timnas Prancis mendapat pujian sebagai contoh dari integrasi yang sukses.
Bahkan, surat kabar Le Monde menyebut mereka sebagai simbol keragaman dan persatuan negara. Presiden Prancis saat itu, Jacques Chirac menggambarkan mereka sebagai tim tiga warna yang telah menciptakan citra indah Prancis dan kemanusiaannya.
Konflik ketegangan rasial
Meskipun telah mencetak sejarah baru dalam dunia sepak bola, itu tidak menghapus ketegangan rasial yang ada. Kemenangan Prancis pada Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, tampaknya telah menjadi sumber rasa malu bagi partai sayap kanan Front National (FN). Pemimpinnya saat itu, Jean-Marie Le Pen mengklaim pada tahun 1996 bahwa timnas Prancis adalah tim buatan karena terlalu banyak diisi oleh pemain non-kulit putih.
Selain itu, dia juga menggambarkan timnas sebagai perwakilan yang tidak layak dan tidak mengetahui arti dari lagu kebangsaan. Pada tahun 2000, 36 persen responden survei Prancis mengatakan terlalu banyak pemain yang bukan keturunan asli Prancis di timnas.
Setahun kemudian, Prancis melawan Aljazair di Paris untuk pertama kalinya sejak negara Afrika Utara itu merdeka pada tahun 1962. Sayangnya, pertandingan berubah menjadi kekacauan yang mengerikan.
Jurnalis olahraga Timothee Maymon mengatakan sebelum pertandingan, lagu kebangsaan Prancis dicemooh. Lalu pertandingan ditinggalkan setelah invasi lapangan pada menit ke-76.
“Kami mengira tahun 1998 dan 2000 akan menjadi bagian terakhir dari Prancis baru ini, bermain bersama, menang bersama, mampu melupakan asal-usul. Namun, peristiwa pada hari itu menunjukkan gagasan kebersamaan menjadi hal yang fatamorgana,” kata Maymon, dilansir Aljazirah, Ahad (18/12/2022).
Pada tahun 2002, Le Pen secara tak terduga maju ke putaran kedua pemilihan presiden dengan mencatat skor tertinggi yang pernah diraih oleh sayap kanan Prancis. Maymon mengatakan imigrasi yang telah membuat sepak bola Prancis lebih baik.
“Dalam politik sayap kanan Prancis, mereka sering mengatakan tidak ada pemain kulit putih. Namun, sebenarnya, jika kami hanya bertahan dengan pemain kulit putih, kami tidak akan bisa memenangkan dua Piala Dunia” katanya mengacu pada 1998 serta kemenangan Piala Dunia kedua Prancis, empat tahun lalu pada 2018 di Rusia.
Dia juga menyoroti penghargaan sepak bola tahunan Ballon d'Or yang didambakan sebagai lambang kepercayaan sepak bola Prancis pada imigrasi.
Empat dari lima pemenang Prancis berasal dari latar belakang non-Prancis, termasuk Raymond Kopa dari keluarga imigran Polandia, Michel Platini yang berasal dari Italia dan Zinedine Zidane dan Karim Benzema yang keturunan Aljazair.
Timnas Prancis saat ini yang berlaga di Piala Dunia Qatar 2022 merupakan contoh bagaimana imigrasi telah membentuk sepak bola Prancis. Sebagian besar pemain berasal dari tempat beragam, termasuk Dayot Upamecano yang merupakan keturunan Bissau-Guinea dan Aurelien Tchouameni yang merupakan keturunan Kamerun.
Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/2022/11/30/how-immigration-made-french-football-better