Semilir Promosikan Keberlanjutan Warisan Budaya Kain Lantung dari Pelosok Hutan

Produk kerajinan yang dibuat oleh Semilir menggunakan bahan alami atau serat natural

Dok. Semilir Ecoprint
Kegiatan workshop ecoprint di Semilir Ecoprint.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- "Tung, tung, tung". Begitulah senandung saat alat bernama perikai dipukul-pukulkan ke kulit kayu pohon terap (Artocarpus elasticus) yang sedang diproses menjadi sebuah kain. Rupanya suara dari proses inilah yang menjadi asal nama kain lantung, kain khas Bengkulu.


Meski telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI pada 2015 lalu, tidak banyak yang mengetahui mengenai kain ini. Adalah Alfira Oktaviani yang bertekad untuk mempromosikan kain ini lebih luas lagi melalui Semilir Ecoprint.

Memiliki darah Bengkulu, Alfira sangat familiar dengan kain lantung, yang kerap menjadi oleh-oleh khas wilayah tersebut. Ketertarikannya membuat ecoprint dengan kain lantung tercetus ketika ia tengah mencari inovasi produk untuk Semilir Ecoprint.

"Saya sudah membentuk Semilir Ecoprint sejak 2018 dan mencoba dari kain biasa. Tapi kemudian saya ingin membuat inovasi dengan kain yang berbeda, dan bapak saya yang asli Bengkulu menantang saya untuk membuat ecoprint dari kain lantung," tutur Alfira kepada Republika.

Berawal dari ketertarikannya belajar pewarnaan alam atau ecoprint yang mengusung budaya Indonesia, Alfira membentuk Semilir Ecoprint pada 2018 di Kabupaten Sleman, DIY. Nama Semilir berasal dari bahasa Jawa 'silir' yang berarti angin yang menyejukkan. Filosofi ini dituangkan dalam proses pembuatan produknya yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberdayakan masyarakat.

Produk kerajinan yang  dibuat oleh Semilir menggunakan bahan alami atau serat natural yang berasal dari alam. Berbagai produk fesyen di sini dibuat dengan melibatkan para ibu-ibu sekitar yang menjadi pengrajin ecoprint. Produk fesyen dengan motif dedaunan ini menjadi ciri khas Semilir yang mengusung sustainability (keberlanjutan). Biasanya kain yang digunakan adalah bahan katun, sutra, linen atau kain-kain berbasis alam karena lebih mudah menyerap pewarnaan alam.

Meski juga berasal dari serat alam, rupanya membuat ecoprint di atas kain lantung tidaklah mudah. Berasal dari pohon sukun-sukunan yang bergetah, kain lantung sendiri sudah memiliki warna alami dan untuk mencetak ecoprint di atasnya butuh proses trial and error yang cukup lama. Ketika berhasil membuat ecoprint kain lantung, Alfira berupaya mencari informasi mengenai pengrajin kulit kayu lantung di Bengkulu.

Tidak hanya untuk menjadi penyuplai bahan baku produknya, ia ingin memperkenalkan lebih jauh mengenai sejarah dan proses produksi kain lantung Bengkulu. Apalagi Semilir tidak hanya menghasilkan produk fesyen yang ramah lingkungan, tapi juga mempromosikan kebudayaan Indonesia lewat produk-produknya.

"Karena di Jogja nuansa budaya sangat kental, sehingga para pembeli, khususnya para wisatawan, juga tertarik dengan cerita di balik produk kami," tutur Alfira.

Menelusuri Kain Lantung Hingga ke Pelosok Bengkulu

Produk ecoprint Semilir Ecoprint. - (Dok. Semilir Ecoprint)

Akan tetapi, tidak banyak informasi yang bisa ia dapatkan mengenai kain lantung. Untuk itu, Alfira membuat proposal riset ke Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbud RI pada 2020. Dari situ, ia mendapatkan pendanaan yang membawanya untuk riset kain lantung di Desa Papahan, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Berjarak 250 kilometer atau tujuh jam perjalanan dari Kota Bengkulu, Alfira menemukan pengrajin kain lantung dan belajar mengenai proses pembuatannya di sana. Di desa terpencil tersebut, hampir seluruh penduduk di sana menggantungkan ekonomi mereka melalui produksi kayu lantung. Para bapak-bapak akan mencari kulitnya, sedangkan para ibu-ibu yang memproses menjadi kain lantung.

Seperti Bambang Hermanto, salah satu pengrajin kulit lantung di desa tersebut, yang telah berhasil menyekolahkan kedua anaknya hingga jenjang sarjana dengan berjualan kulit kayu lantung.

"Saya sudah mengerjakan pekerjaan ini selama 20 tahun, dulu cuma pekerjaan sampingan, sekarang jadi profesi. Penghidupan saya tergantung dari hasil penjualan kulit lantung," tutur Bambang yang dikutip dari video wawancara dengan Semilir.

Prosesnya tidak mudah. Setiap harinya Bambang akan mencari pohon terap di hutan untuk ditebang dan dikuliti. Meski memiliki getah yang membuat kulitnya tidak mudah rusak, pengulitan kulit kayu terap perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Kulit kayu dibuka dan dikelupas dari inti batang kayu untuk mendapatkan lembaran kulit kayu yang basah dan bergetah.

Selanjutnya dilakukan proses pemipihan, yakni pemukulan kulit kayu lantung menjadi lembaran yang dilakukan oleh beberapa ibu-ibu di desa tersebut. Pemipihan masih dilakukan secara tradisional, dipukul dengan alat bernama perikai. Perikai merupakan sejenis alat pukul keras dengan ukuran panjang dan besarnya 40x10 cm. Alas yang digunakan adalah kayu balok yang terbuat dari kayu gadis.

Proses ini dilakukan hingga lebar kulit kayu menjadi 1 meter. Selama proses ini, warna kulit kayu akan berubah menjadi kecoklatan yang disebabkan oleh warna dari getah pohon terap yang sudah mengering. Nenek Nuraini, salah satu yang melakukan proses pemipihan bercerita, lantung ini dulu digunakannya untuk kain basahan atau untuk mandi, namun saat ini lantung banyak digunakan untuk tali keranjang bambu.

Di Bengkulu sendiri, kerajinan kain lantung sudah banyak terjual di toko oleh-oleh. Tapi menurut Alfira, kerajinan yang menggunakan kain lantung masih berupa kerajinan-kerajinan kecil seperti gantungan kunci dan dompet. Mirisnya, dengan proses pembuatan yang demikian rumit dan merusak alam, harganya pun tergolong sangat murah.

Ketika pertama kali membelinya di marketplace online, Alfira menemukan bahwa harganya hanya sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu per lembar. Republika pun mencoba menelusurinya di marketplace online, dan benar saja, harga kulit lantung dengan ukuran 100x100 sentimeter hanya dihargai sebesar Rp 47 ribu.

Bahkan dari pengrajin seperti Pak Bambang, kulit kayu lantung hanya dihargai sebesar Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu per lembar. Nilai yang sangat kecil untuk dampak negatif yang sangat besar.

Perjuangkan Keberlanjutan Kain Lantung

Pengrajin kain lantung Bengkulu, kain warisan budaya yang digunakan oleh Semilir Ecoprint. - (Dok. Semilir Ecoprint)

Bak pisau bermata dua, upaya memperkenalkan kain lantung sebagai warisan budaya Indonesia melalui produk ecoprint terhalang oleh penebangan liar yang dilakukan oleh para pengrajin di desa tersebut. Penebangan memang tidak dilakukan secara besar-besaran, karena kulit lantung sendiri belum begitu populer.

Ini menjadi kendala dan pekerjaan rumah yang besar untuk Semilir dalam memperkenalkan kain lantung, sehingga membatasi penggunaannya hanya sekitar 100 lembar setahun. Mereka pun berupaya memaksimalkan penggunaan kain lantung milik mereka hingga tidak bersisa.

"Karena Semilir mengusung sustainability untuk produk-produk kami. Sedangkan kulit kayu lantung masih diperoleh dengan cara menebang, ini PR kita bersama," tutur Alfira.

Untuk memperjuangkan keberlanjutan kain lantung ini, Alfira bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu untuk memberikan sosialisasi mengenai keberlanjutan dan pelestarian alam.

Melalui audiensi dengan berbagai pihak, akhirnya Semilir dapat bekerja sama dengan DLHK Bengkulu untuk menyediakan lahan dan memasok bibit pohon terap secara gratis untuk para pengrajin di Desa Papahan. Menurut Alfira, mereka tidak mungkin membantu lewat pendanaan, karena nantinya perlu pengawasan lebih untuk penggunaan dana tersebut.

"Ini solusi terbaik yang bisa kami berikan, sebelum pandemi memperlambat upaya-upaya kami tersebut," ungkap Alfira.

Kebangkitan Usai Pandemi

Kegiatan workshop ecoprint di Semilir Ecoprint. - (Dok. Semilir Ecoprint)

Sebelum pandemi, Semilir Ecoprint dapat memperoleh omzet sebesar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per bulan. Semilir juga kerap kali mengikuti pameran usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan fashion show yang terhenti selama pandemi. Kini mereka mulai merangkak naik lagi sejak pandemi berakhir.

Workshop yang dulunya rutin diadakan dan berhenti selama pandemi, mulai kembali dilakukan. Salah satu workshop terbesar yang pernah dilaksanakan Semilir tahun ini dengan membina para pemuda Karang Taruna di Desa Banaran, Kabupaten Gunung Kidul. Bekerjasama dengan Hutan Pendidikan Wanagama Universitas Gadjah Mada (UGM), sekitar 5 orang ibu-ibu pengrajin Semilir mengajarkan para pemuda di desa lokasi hutan tersebut untuk membuat ecoprint yang kemudian menjadi tempat produksi oleh-oleh khas Fakultas Kehutanan UGM.

Ini merupakan salah satu upaya Semilir untuk membantu perekonomian warga di desa tersebut melalui ecoprint. Dari awalnya hanya melatih para pemuda, kini para ibu-ibu di Desa Banaran tertarik ikut serta. Produk yang dibuat adalah seminar kit dan corporate souvenir seperti tas laptop, cover buku dan ID card.

"Sama ibu-ibu kita sekalian praktek kulit kayu lantung juga," kata Alfira.

Semilir juga kembali mengikuti berbagai ajang pameran dan fashion show dalam negeri untuk memperluas promosinya mengenai fesyen yang memperhatikan dampak lingkungan. Berkat kiprahnya dalam wirausaha yang berkelanjutan ini, ia lolos menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2022 Bidang Kewirausahaan dari PT Astra International Tbk.

Melalui penghargaan bergengsi ini, Alfira berharap berbagai pekerjaan rumahnya dalam memperkenalkan kain lantung dan masalah lingkungan di wilayah produksi kain tersebut dapat terselesaikan. Koneksi yang dibuatnya melalui para pemenang dan dukungan dari PT Astra International Tbk juga menjadi sarana penting targetnya tersebut.

"Harapan saya dari SATU Indonesia masyarakat lebih banyak mengenal tentang kulit kayu lantung sebagai warisan budaya tak benda yang bisa dijadikan produk kerajinan dan memiliki value yang tinggi juga. Mudah-mudahan bisa juga sampai UNESCO," ujar Alfira. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler