Sidebar

Sejarah Umroh Qadha Nabi Muhammad

Sunday, 25 Dec 2022 16:12 WIB
Sejarah Umroh Qadha Nabi Muhammad. Foto: Makkah dan Ka'bah (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Pada tahun keenam hijriyah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bermimpi dapat mengerjakan ibadah umroh dengan selamat. Pada saat itu kafir Qurais menghalangi beliau datang untuk keperluan apapun termasuk urusan ibadah.

Baca Juga


"Rasulullah bermimpi dapat mengerjakan Umroh dengan selamat. Maka pada tahun keenam hijriyah dilaksanakan umroh untuk menjalankan mimpi itu," tulis Prof Hamka dalam karyanya Tafsir Al-Azhar.

Karena sebagaimana diketahui, mimpi seorang Rasul adalah mimpi yang benar. Tetapi setelah sampai di Hudaibiyah, mereka dihambat masuk Makkah oleh orang musyrikin. Setelah beberapa hari terjadi beberapa perundingan, akhirnya didapat persetujuan bahwa Rasulullah dan kaum Muslimin boleh naik haji, tetapi tahun depan (tahun ketujuh). 

Setelah lalu setahun datanglah masanya yang dijanjikan itu. Bersiap-siap pulalah Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat yang tidak jadi naik haji tahun yang lalu itu buat mengqadha umroh itu. Itulah yang dikenal dalam sejarah dengan nama Umrotul-Qadha (Umroh Qadha').

Niscaya ada juga terasa pada sahabat-sahabat Rasulullah itu, kalau mereka jadi mengerjakan ibadah tersebut, apakah orang Quraisy akan menepati pada janjinya? Apakah barangkali mereka akan diperangi lagi? Padahal mereka ke Makkah bukan buat berperang, melainkan semata-mata buat beribadat.

Ibadah ini untuk meneguhkan hati menghadapi segala kemungkinan, maka turunlah surah Al-Baqarah ayat 190 yang artinya:

"Dan perangilah pada jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas." 

Setelah turun ayat tersebut, nyatalah bahwa mengerjakan ibadat Umrah itu wajib diteruskan. Kepada mereka yang hendak mengerjakan ibadat itu diperintah siap sedia selalu memerangi apabila dihadang dalam melaksanakan ibadah umroh.

"Jadi diizinkan berperang kalau mereka diperangi," tulis Prof Hamka.

Artinya, umat Islam tidak boleh diam ketika datang ke Makkah disambut orang dengan senjata terhunus. Karena, jika diam saja, tentu umat Islam akan mati tak berarti. 

Seluruh hidup Muslim adalah dengan niat menegakkan jalan Allah. Apa lagi kalau sudah masuk kepada ibadat. Ibadat itu pun wajib dijaga dengan senjata, tetapi di sini sangat diperingatkan Tuhan supaya jangan melampaui batas.

Yaitu pertama jangan kita yang memulai terlebih dahulu. Kedua kalau perang terjadi juga, jangan dibunuh orang tua, perempuan dan kanak-kanak dan jangan dirusakkan tempat beribadat. 

Termasuk juga dalam larangan melampaui batas ialah membunuh orang yang telah menyerah, dan jangan mecincang orang yang telah mati. Maka di ujung ayat ditegaskan lagi. "Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang melampaui batas." (ujung ayat 190). 

Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Jarir dan lbnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan bahwa janganlah kamu melanggar batas, yaitu jangan kamu membunuh perempuan-perempuan dan anak-anak dan orang orang yang telah tua. Dan jangan membunuh orang yang telah mengucapkan salam kepada kamu seketika mulai berjumpa, dan mereka tidak menentang kamu dengan senjata. 

Jikalau kamu berbuat begitu niscaya kamu telah melanggar. Dan menurut riwayat lain lagi, inilah keizinan berperang yang kedua.

Adapun yang pertama ialah yang tersebut di dalam Surat al-Haj ayat 39 yang artinya.

"Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi oleh karena mereka telah dianiaya. Dan Allah adalah sanggup atas menolong mereka."

Ayat pertama mengizinkan berperang ini, menurut riwayat diturunkan di Makkah setelah kaum Muslimin bersiap-siap hendak hijrah ke Madinah, setelah mendapat persetujuan dengan kaum Anshar yang telah menyediakan negeri mereka (Madinah) buat berpindah orang-orang yang telah diusir dari kampung halamannya karena keyakinan agama mereka itu.

"Maka isi dari kedua ayat ini adalah sama. Diizinkan berperang kalau kaum Muslimin dianiaya." 

 

 

 

 

 

Berita terkait

Berita Lainnya