Melonjak, Penularan HIV/AIDS pada LGBT di Indonesia

Kenaikan persentase penularan HIV pada LSL berbanding lurus dengan kampanye LGBT.

ANTARA /Novrian Arbi
Petugas tenaga kesehatan melakukan screening dengan tes cepat HIV AIDS kepada warga di Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Ahad (20/11/2022).
Rep: Arie Lukihardianti/Dadang Kurnia Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Arie Lukihardianti, Dadang Kurnia


Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan statistika penularan HIV/AIDS sepanjang 2022 ini pada akhir pekan lalu. Hingga September, kasus kumulatif  HIV di Jabar tercatat sebanyak 57.134 kasus, dan kasus kumulatif AIDS sebanyak 12.326 Kasus.

Dalam lansiran terbaru ini, ada demografi yang berubah. "Yang harus menjadi perhatian dari semua kasus tersebut 74 persennya diderita oleh kelompok laki-laki, dan 26 persen kelompok perempuan, dengan penyebab utamanya adalah hubungan sesama jenis, disusul pengguna narkotika," ujar Asisten Pemerintahan, Hukum dan Kesejahteraan Sosial Jabar, Dewi Sartika akhir pekan lalu.

Di Jawa Timur, temuannya serupa. Pegiat seks sesama jenis adalah juga populasi kunci penularan HIV. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, Erwin Astha Triyono mengungkapkan, berdasarkan hasil pemeriksaan HIV/AIDS yang dilaksanakan di wilayah setempat, sepanjang 2022 tepatnya hingga Oktober, ditemukan 6.145 pasien baru HIV. Secara kumulatif, kata Erwin, kasus HIV di Jatim tercatat sebanyak 84.959 kasus. 

Selain peningkatan akses tes dan pengobatan HIV, Pemprov Jatim juga melakukan beberapa upaya penanggulangan HIV AIDS. Di antaranya melakukan penemuan sedini mungkin dengan mengadakan mobile clinic pada populasi kunci dan ibu hamil.

"Kemudian melakukan penjangkauan pada populasi kunci yakni LSL (laki-laki seks laki-laki), waria, PSK, dan pengguna narkoba suntik dalam upaya pencegahan penularan HIV termasuk penjangkauan bagi pasien LFU," ujarnya.

Secara nasional, trennya serupa. Sepanjang 2016 tercatat 41.250 kasus penularan HIV di Indonesia. Kala itu, penularan pada golongan heteroseksual tercatat pada angka 53 persen, sementara pada homoseksual (utamanya lelaki sesama lelaki/LSL) sudah mencapai 39 persen. Statistika ini masih serupa sejak 2010, yang mana persentase penularan di kalangan heteroseksual selalu lebih besar.


Meski begitu, patut dicatat dalam enam tahun itu terjadi lonjakan catatan penularan di kalangan homoseksual. Pada 2010, tercatat hanya 506 penularan pada LSL dibandingkan 6.623 pada heteroseksual. Sementara pada 2016, penularan LSL mencapai angka 16 ribu kasus.

Tahun demi tahun, penularan di kalangan homoseksual terus menanjak dan mengejar persentase penularan pada heteroseksual. Pada 2017, saat total penularan HIV kembali naik menjadi 48.300 dalam setahun, persentase penularan di heteroseksual hanya  satu persen saja di atas penularan LSL, yakni 22 persen berbanding 21 persen.

Titik baliknya terjadi pada 2018. Kala itu, sepanjang tahun tercatat 46.659 penularan HIV. Dari jumlah itu, sebanyak 20 persen pada kaum homoseksual, mengalahkan 19 persen pada heteroseksual. Pada 2019, penularan LSL bertahan pada angka 20 persen, sementara pad heteroseksual menurun jadi 17 persen. Tahun 2019 itu mencatatkan rekor baru penularan per tahun, yakni sebanyak 50.282.

Pada 2020, saat pandemi mendera, laporan kasus tahunan yang dilansir di siha.kemkes.go.id tersebut tak bisa diakses. Tapi pada 2021, dari 36.902 kasus yang terlacak, penularan pada LSL melonjak jadi 27 persen, jauh meninggalkan penularan heteroseksual pada 13,6 persen.

Tren ini agaknya bakal berlanjut pada 2022. Pada triwulan I 2022, dari total 10.525 kasus penularan HIV, sebanyak 30,2 persen terjadi melalui hubungan sesama jenis, sementara 12,8 persen terjadi pada hubungan heteroseksual. Angka ini juga sudah melampaui catatan triwulan pertama tahun-tahun sebelumnya.

Sejauh ini, belum ada studi khusus yang dibuka untuk khalayak soal transisi demografi penularan HIV/AIDS tersebut. Namun, Bukan rahasia, kampanye pro-LGBT dari negara-negara barat makin kencang sejak peralihan dekade pertama abad ke-21. Budaya populer yang diimpor dari Amerika Serikat dan Eropa pepak dengan kampanye legalisasi dan normalisasi hubungan sesama jenis. Tak hanya lewat budaya populer, lembaga-lembaga dan even-even global, bahkan kebijakan negara-negara diminta tunduk pada kampanye tersebut. Bulan lalu, Utusan Khusus AS untuk Memajukan Hak Asasi Manusia untuk LGBTQI+, Jessica Stern, coba menyambangi Indonesia meski kemudian batal.

Jika menengok trayektori penularan HIV/AIDS di kalangan homoseksual, terlihat jelas keseiringan dengan masifnya kampanye normalisasi LGBT tersebut. Artinya, secara statistik partikular tersebut, ada korelasi antara masifnya kampanye normalisasi LGBT dengan peningkatan aktivitas komunitas tersebut di Indonesia. Utusan Khusus AS untuk Memajukan Hak Asasi Manusia untuk LGBTQI+, Jessica Stern Secara anekdotal, sudah terdengar ada anak-anak seumuran SD-SMP yang melela alias secara terbuka menyatakan kecenderungan seksual mereka.

Buat negara macam Indonesia, hal begini bisa punya dampak yang belum tentu positif. Di negara barat, dorongan-dorongan normalisasi dan keterbukaan berkorelasi dengan pandangan permisif mayoritas soal kebebasan seksual. Sementara di Indonesia, akan problematis jika ada dorongan-dorongan dan kampanye tersebut sementara sebagian besar masyarakat masih memandang tabu. Masyarakat dan Pemerintah agaknya harus mulai bicara baik-baik soal ini. Karena sejauh ini, belum ada obat manjur untuk penyakit HIV/AIDS yang mematikan tersebut. Yang artinya ini bukan semata persoalan moralitas, tetapi juga soal menyelamatkan nyawa anak bangsa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler