Peneliti: Perppu Cipta Kerja Tak Lantas Tuntaskan Masalah Investasi
Regulasi yang diciptakan secara instan berpotensi tidak menyelesaikan masalah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 22 tahun 2022 tidak secara otomatis menyelesaikan berbagai persoalan yang menghambat masuknya investasi di Indonesia.
Meski demikian, terbitnya Perppu itu menunjukkan pemerintah sangat percaya diri dengan kemampuan UU Cipta Kerja sebelumnya dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sehingga partisipasi publik dirasa tidak diperlukan.
Associate Researcher CIPS, Krisna Gupta, berpendapat, alasan kedaruratan yang disampaikan pemerintah perlu dijustifikasi dengan baik. Jika tidak, Perppu itu bisa jadi malah menimbulkan semakin banyak pertanyaan, terutama alasan kenapa pemerintah merasa tergesa-gesa.
"Apakah ada perubahan substansial di Perppu tersebut dibanding UU Cipta Kerja yang dapat menimbulkan kontroversi?" tanya Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta, Selasa (3/1/2023).
Alih-alih menciptakan kepastian hukum bagi investor, Perppu ini malah menimbulkan semakin banyak pertanyaan dan ketidakpastian, terutama menjelang pergantian pemerintahan di 2024. Ia menuturkan, menarik investasi perlu perubahan sistematis yang umumnya perlu waktu. Di samping itu, pemerintah perlu mengevaluasi penerapan UU Cipta Kerja sejauh ini.
"Membuat Indonesia menarik bagi investor membutuhkan upaya terstruktur dan konsisten. Kita juga perlu memastikan apakah perubahan-perubahan dan kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya sudah efektif atau masih perlu perbaikan," kata dia.
Ia mencontohkan, seperti mengevaluasi sistem Online Single Submission (OSS) dan meneruskan berbagai upaya yang mendukung kemudahan berusaha atau ease of doing business. Jika ingin dikaitkan dengan keberadaan UU Cipta Kerja sebagai omnibus dalam memajukan perekonomian Indonesia, Krisna menambahkan, membangun iklim investasi yang kondusif dan mampu menarik minat investor perlu dilakukan dengan perencanaan yang matang. Selain itu, pemerintah juga melibatkan partisipasi publik secara organik dengan membangun dan menjaga regulasi yang transparan dan akuntabel.
"Banyak poin-poin dalam Perppu ini yang mendapatkan banyak penolakan, seperti terkait ketenagakerjaan. Perumusan poin-poin ini membutuhkan masukan publik karena Indonesia kini juga memerlukan investasi padat karya untuk menggerakkan perekonomian," kata dia.
Krisna mengatakan, regulasi yang diciptakan secara instan berpotensi tidak menyelesaikan masalah dan malah menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Belum lagi, persoalan sosialisasi yang tidak bisa dilakukan secara instan mengingat luasnya wilayah Indonesia dan belum meratanya konektivitas internet antar wilayah. Hal ini, lanjutnya, dapat menimbulkan kesenjangan dalam pemahaman dan pelaksanaan di lapangan.
Dibentuknya Kementerian Investasi sangat mungkin mencerminkan komitmen dan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi. Namun, pemerintah tetap perlu mengevaluasi sejauh mana kementerian ini mampu menjawab tantangan tumpang tindih regulasi yang selama ini banyak menghambat investasi.
Investasi masih menjadi titik tumpu pemerintah dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur serta membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat diprediksi akan mengalami bonus penduduk usia angkatan kerja. "Konsistensi regulasi dan kestabilan iklim sosial politik diperlukan untuk menunjang pertumbuhan iklim investasi di Indonesia kedepannya, sehingga menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia, khususnya dengan status UU Cipta Kerja saat ini," kata Krisna.