Wisatawan Cari Kegiatan Petualangan di Desa Wisata Bali

Wisatawan asing terbesar yang mengunjungi desa wisata berasal dari Eropa Timur.

ANTARA/Fikri Yusuf
Wisatawan berjalan di sekitar deretan rumah tradisional di Desa Wisata Penglipuran, Bangli, Bali, Jumat (26/2/2021). Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Bali I Made Mendra Astawa mengatakan, pascapandemi, wisatawan yang datang ke Bali mulai mencari kegiatan baru berupa petualangan di desa wisata.
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Bali I Made Mendra Astawa mengatakan, pascapandemi, wisatawan yang datang ke Bali mulai mencari kegiatan baru berupa petualangan di desa wisata.

"Wisatawan yang datang ke Bali sekarang semakin banyak dan mereka mencari hal-hal baru, tidak hanya atraksi fenomenal tapi mereka cari petualangan. Lalu petualangan ini hanya di desa dan inilah yang dikembangkan saudara-saudara di desa yang menjadikannya desa wisata," kata Mendra di Denpasar, Jumat (6/1/2023).

Meskipun belum memulai proses pengumpulan data jumlah kunjungan, Mendra menyebut wisatawan asing terbesar yang mengunjungi desa wisata berasal dari Eropa Timur. Sementara kabupaten dengan kunjungan terbesar di Gianyar.

"Kalau kita lihat secara merata jelas paling banyak dikunjungi desa wisata daerah Ubud Gianyar, kemudian Kabupaten Bangli di mana air terjun mulai banyak, lalu Kota Singaraja. Itu wisatawan asing semua yang datang, dan sekarang wisatawan domestik mulai masuk," ujarnya.

Mendra melihat ke depannya objek desa wisata akan semakin banyak diminati, terutama pada 2023 di mana wisata alam, budaya, maupun buatan yang dikelola langsung oleh masyarakat setempat menjadi modal utamanya. Hingga saat ini, sebanyak 238 desa yang tersebar di seluruh Bali telah tercatat sebagai desa wisata, dengan empat kategori yaitu mandiri, maju, berkembang, dan rintisan.

Desa wisata sendiri terbangun atas konsep membangun dari desa, bukan membangun desa. Di mana masyarakat setempat tak hanya menjadi penonton, melainkan subjek langsung yang mengelola kekayaan yang ada, sehingga tak dibutuhkan modal besar untuk pembangunannya.

"Apa yang ada di desa itu yang kita kelola. Misalnya trek jalan, melihat persawahan, sungai, air terjun, lembah, pura, penglukatan, upacara keagamaan, ini yang diangkat maksimal sehingga biayanya tidak berat," kata Mendra.

Mendra mengatakan 238 desa wisata di Pulau Dewata memiliki keberagaman. Dengan melakukan petualangan di lokasi yang berbeda, maka ia percaya wisatawan tak akan henti-hentinya mengeksplorasi Bali.

Desa wisata di Bali antara satu dan lainnya juga memiliki perbedaan tingkatan, kata dia, di mana sekitar 70 persen masih kategori rintisan. Sementara itu tak lebih dari 10 desa wisata telah tercatat sebagai desa wisata mandiri yang mampu menghidupi masyarakat lewat kedatangan wisatawan.

"Rintisan itu misalnya belum ada restoran tapi punya air terjun, atau ada tempat mendaki tapi tidak ada penginapan, sementara itu ramai dikunjungi. Kalau Desa Jatiluwih, Penglipuran, Pemuteran, dan Ubud termasuk mandiri. Ubud, kalau ada upacara atau kegiatan justru atraksi dari desa wisata itu yang membiayai. Kalau di Jatiluwih hasil kunjungan itu diberikan ke masyarakat untuk menanam atau membeli pupuk," kata dia menjelaskan.

Selain dari tarif retribusi masuk desa wisata yang berkisar di angka Rp 10 ribu-Rp 15 ribu, tak jarang desa wisata mengumpulkan dana dari donasi, terutama desa yang tidak memungut retribusi. Dengan begitu menurut Mendra, diperlukan pengelolaan dan sumber daya manusia untuk memanfaatkan potensi yang ada.

Baca Juga


 

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler