Perjodohan Massal dengan Sistem Kocokan di Pesantren Ciamis, Lima Santri Lakukan Khitbah

Dalam sistem kocokan, para santri mengambil sebuah gulungan kertas kecil berisi nama.

Bayu Adji P/Republika
Prosesi perjodohan atau khitbah massal yang viral di media sosial. Kegiatan itu diketahui dilakukan di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kabupaten Ciamis. Tangkapan layar.
Rep: Bayu Adji P Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS -- Sebuah video yang berisi proresi perjodohan atau peminangan (khitbah) massal viral di media sosial beberapa hari lalu. Hingga Selasa (10/1/2023) sekitar pukul 15.00 WIB, video yang diunggah tiga hari lalu itu telah ditonton oleh tiga juta kali, disukai oleh 110.300 ribu pengguna, dan mendapat 1.355 komentar.


Kegiatan itu diketahui dilakukan di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Ciamis. Dalam video yang diunggah akun TikTok Matahari Miftahul Huda 2 itu, terdapat lima santri dan lima santriwati yang melakukan prosesi khitbah. 

 

Prosesi perjodohan atau khitbah massal yang viral di media sosial. Kegiatan itu diketahui dilakukan di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kabupaten Ciamis. Tangkapan layar. - (Foto tangkapan layar (screenshoot) )

 

Video yang berdurasi 3 menit 51 detik itu memperlihatkan prosesi khitbah dengan sistem kocokan, di mana para santri mengambil sebuah gulungan kertas kecil dalam satu tempat. Setelah itu, mereka membuka kertas tersebut dan membacakan nama santriwati yang tertulis. 

Pihak Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari membenarkan video itu dibuat dalam kegiatan khitbah massal pada Jumat (6/1/2023). Namun, sistem kocokan yang diperlihatkan dalam video itu hanya sekadar gimik. 

"Itu juga bukan sistem kocokan. Yang beredar itu hanya gimik," kata Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, KH Nonop Hanafi, saat dikonfirmasi Republika, Selasa.

Dia menjelaskan, proses khitbah massal itu telah melalui proses panjang. Artinya, tidak serta merta para santri yang ikut kegiatan itu langsung dijodohkan di tempat.

Menurut dia, khitbah massal di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari itu bukan yang kali pertama dilakukan. Tradisi itu disebut telah menjadi agenda rutin setiap tahunnya.

Tahun lalu, dia mengatakan, terdapat delapan pasangan atau 16 orang yang mengikuti khitbah hingga pernikahan massal. Sementara tahun ini, terdapat 10 pasangan yang ikut dalam kegiatan itu, yang dibagi dalam dua tahap.

"Jadi kader santri yang sudah dewasa itu dinikahkan sebagai proses untuk terjun di masyarakat menyebarkan ilmu dan dakwah. Ini sudah berlangsung hampir ke 7 tahun nikah massal ini," kata dia.

Proses khitbah massal

Kiai Nonop menjelaskan, proses khitbah massal itu hanya diperuntukan bagi santri atau santriwati yang sudah dewasa. Santri yang mengikuti khitbah massal adalah santri yang telah mengabdi, yang usianya minimal 25 tahun untuk laki-laki dan 22 tahun untuk perempuan. 

"Prosesnya pertama anaknya dipanggil. Kalau di pesantren itu kan pacaran tidak, tapi mereka kenal satu sama lain sesama santri dewasa. Lalu para kiai menanyakan berdasarkan beberapa klasifikasi," kata dia.

Dia mengatakan, klasifikasi yang menjadi penilaian utama adalah ilmu yang telah dimiliki para santri tersebut. Selain itu, faktor tempat di mana mereka akan mengamalkan ilmu selanjutnya menjadi bahan penilaian penting. Artinya, para santri itu harus sudah memiliki tujuan atau tempat untuk mengamalkan ilmu dakwahnya.

"Kalau belum, harus dipikirkan dulu di mana mereka akan tinggal untuk menyebarkan ilmunya. Jadi perhitungannya adalah kualitas keilmuan dan tempat dakwah untuk menyebarkan ilmu," kata Kiai Nonop.

Setelah ada penilaian, para dewan kiai akan berembug untuk memilih para santri dewasa. Lalu para santri itu akan dipanggil untuk diminta persetujuannya. 

"Pada dasarnya mereka sudah biasa dijodohkan oleh guru. Jadi Sami'na Wa Atho'na itu sangat kuat di pesantren," kata dia.

Kiai Nonop melanjutkan, pihak pesantren kemudian akan memanggil orang tua dari kedua belah pihak. Para orang tua akan diberitahu bahwa anaknya akan dijodohkan. Menurut dia, rata-rata orang tua akan setuju.

Baru setelah itu, pihak pesantren akan mengagendakan prosesi khitbah massal. Dalam kegiatan itu, kedua belah pihak dipanggil, termasuk orang tua mereka.

Kiai Nonop menambahkan, setelah itu akan ditentukan waktu pernikahan di pondok. Tujuannya tak lain untuk syiar pondok pesantren dan meringankan pembiayaan. 

"Kalau di pondok kan acara bisa ramai dan para dewan guru bisa seluruhnya hadir dan mendoakan. Jadi untuk meringankan pembiayaan, efektivitas waktu, sudah jadi agenda tahunan dinikahkan di pondok," ujar dia.

Setelah menikah, para santri itu akan pulang untuk sementara waktu. Mereka akan kembali dipanggil lagi ke pondok untuk persiapan menyebarluaskan ilmu yang sudah diatur sejak jauh hari.

Kiai Nonop mengatakan, pihaknya tak menjodohkan semua santri dewasa. Sebab, pada akhirnya guru dan orang tua akan menerima para santri berjodoh dengan siapa.

"Jadi bukan pengulangan kisah Siti Nurbaya. Bukan. Mereka sudah dewasa dan sudah lama pengabdian di pondok. Mereka sudah ustaz dan ustazah," kata dia.

Berdasarkan hasil evaluasi pesantren, selama ini tak ada masalah terkait kegiatan itu. Para santri yang telah menikah disebut menjalani rumah tangga yang harmonis. 

Pihak pesantren juga aka terus melakukan kegiatan ini. "Kan tidak ada yang dilanggar dari hukum agama maupun negara. Itu juga bukan sistem kocokan," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler