Guru Besar Unair Nilai KPU Didikte DPR Soal Penataan Dapil Pemilu

Rapat KPU bersama DPR dan pemerintah seharusnya sebatas konsultasi soal dapil.

Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari (kanan) berjabat tangan dengan akademisi yang juga mantan Ketua KPU masa jabatan 2004-2007 Ramlan Surbakti (tengah) dan akademisi Ahsanul Minan (kiri) usai konferensi pers menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait Kewenangan Penyusunan Daerah Pemilihan pada Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Ramlan hari ini menilai KPU telah didikte oleh DPR terkait daerah pemilihan (dapil) Pemilu 2024.
Rep: Febryan A Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) yang juga mantan Ketua KPU RI, Profesor Ramlan Surbakti menilai DPR telah mendikte KPU dalam penentuan alokasi kursi dan desain daerah pemilihan (Dapil) DPR dan DPRD provinsi. DPR, Mendagri, dan KPU saat Rapat Kerja Komisi II diketahui bersepakat menggunakan alokasi kursi dan desain dapil lama yang tertera dalam Lampiran UU Pemilu meski sudah dinyatakan inkonstitusional.

Baca Juga


"Kalau dibuat kesepakatan antarlembaga ini untuk membuat dapil sesuai lampiran UU Pemilu, lalu dimasukkan ke dalam Peraturan KPU, itu menurut saya pemerintah, DPR, Bawaslu, dan DKPP sudah mendikte KPU," kata Ramlan dalam sebuah diskusi daring, dikutip Sabtu (14/1/2023). 

Ramlan menjelaskan, rapat dengan DPR seharusnya hanya forum konsultasi bagi KPU untuk menata ulang alokasi kursi dan dapil. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kewenangan penataan alokasi kursi dan dapil kepada KPU. 

Tidak seharusnya rapat itu diakhiri dengan sebuah kesepakatan bersama. Kesepakatan itu sama saja melanggar kemandirian KPU karena KPU bukan bawahan lembaga mana pun dan bekerja hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan. 

"Kalau konsultasi ditutup dengan kesepakatan, itu sama artinya Komisi II DPR dan Mendagri ikut cawe cawe, ikut terlibat dalam pembuatan Peraturan KPU (tentang alokasi kursi dan dapil)," ujar Ramlan. 

Dia menambahkan, kesepakatan itu tak hanya mendikte KPU, tapi juga melanggar konstitusi. Sebab, alokasi kursi dan desain dapil dalam Lampiran UU Pemilu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Polemik penataan ulang ini berawal dari putusan MK Nomor 80-PUU/XX/2022 tanggal 22 Desember 2022 yang memberikan kewenangan kepada KPU RI menata dapil DPR RI dan DPRD provinsi. Kewenangan itu sebelumnya berada di tangan DPR, karena lampiran desain dapil dalam UU Pemilu disusun oleh DPR. 

Dalam putusannya, MK juga menyatakan desain dapil dalam Lampiran UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan kewenangan KPU menata dapil dilaksanakan untuk Pemilu 2024 dan seterusnya. 

Merespons putusan tersebut, KPU meminta pendapat empat pakar kepemiluan, termasuk Ramlan Surbakti, untuk menata ulang alokasi kursi dan desain dapil. Bahkan KPU RI menargetkan penataan ulang ini rampung pada akhir Januari. 

Rencana KPU RI itu buyar setelah mereka menghadiri rapat kerja Komisi II DPR RI pada Rabu (11/1/2023) lalu. Dalam rapat itu, anggota dan pimpinan Komisi II menyatakan menolak penataan ulang alokasi kursi dan dapil. 

Bahkan, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mempertanyakan mengapa KPU sampai berencana menata ulang desain dapil dan alokasi kursi. Menurutnya, putusan MK memang memberikan kewenangan kepada KPU RI untuk menata dapil dan alokasi kursi, tapi tidak memerintahkan KPU melakukan penataan. 

Pihak KPU RI hingga saat ini belum memberikan penjelasan gamblang soal mengapa mereka mau akhirnya bersepakat untuk tidak mengubah alokasi kursi dan desain dapil. Komisioner KPU RI Idham Holik hanya mengatakan, pihaknya bakal mengikuti kesepakatan dalam rapat kerja tersebut.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler