Kuasa Hukum Wilmar: Tak Ada Bukti Kesepakatan Kartel Minyak Goreng

Banyaknya jumlah terlapor, kartel penetapan harga migor tidak mungkin dilakukan.

ANTARA/Adeng Bustomi
Sejumlah warga mengantre membeli minyak goreng saat operasi pasar di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (25/2/2022) (ilustrasi). Tim kuasa hukum lima pihak terlapor dari Grup Wilmar dalam perkara dugaan kartel minyak goreng (migor) mengatakan, selama persidangan berlangsung, tidak ada bukti kesepakatan dari para pihak terlapor untuk menaikkan harga ataupun menahan pasokan migor.
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum lima pihak terlapor dari Grup Wilmar dalam perkara dugaan kartel minyak goreng (migor) mengatakan, selama persidangan berlangsung, tidak ada bukti kesepakatan dari para pihak terlapor untuk menaikkan harga ataupun menahan pasokan migor.

"Sepanjang persidangan (di Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU), tidak ada satu pun bukti tertulis ataupun rekaman yang memperlihatkan adanya kesepakatan itu," ujar Rikrik Rizkiyana selaku anggota tim kuasa hukum lima pihak terlapor dari Grup Wilmar itu, yakni PT Multi Nabati Sulawesi, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Cahaya Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia di Jakarta, Ahad (15/1/2023).

Padahal dari sisi teori, lanjut dia, sesuatu dapat dikategorikan sebagai tindakan kartel apabila ditemukan bukti berupa kesepakatan antara pelaku usaha tertentu untuk menyepakati keputusan strategis mereka di pasar, seperti terkait harga, produksi, dan penjualan.

Lebih lanjut dalam kesempatan yang sama, anggota tim kuasa hukum lainnya, yakni Farid Nasution menyampaikan dalam perkara dugaan kartel minyak goreng ini, KPPU menduga penetapan harga dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda. Dengan banyaknya jumlah terlapor dalam kasus itu, menurut Farid, kartel penetapan harga menjadi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.

"Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang sudah dihadirkan di persidangan, baik oleh investigator maupun terlapor yang mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual," ucap dia.

Farid menambahkan- investigator KPPU juga tidak dapat membuktikan pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan oleh produsen. Sebab produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang, mulai dari produsen, distributor, subdistributor, agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, pedagang eceran, sampai dengan konsumen akhir.

"Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, melainkan karena kenaikan harga CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) penerapan HET (harga eceran tertinggi), dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan," ucap Farid.

Sebelumnya dalam persidangan di KPPU, Jumat (13/1/2023), lanjut Farid, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan selaku saksi menyampaikan kelangkaan minyak goreng disebabkan kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa dalam mengatur pasar tanpa ada badan atau lembaga khusus yang menanganinya, seperti Bulog. "Terbukti, begitu Permendag 11/2022 diterbitkan pada 16 Maret 2022 untuk mencabut peraturan HET (Permendag 6/2022), keesokan harinya minyak goreng langsung tersedia di pasar," ujar Farid.

KPPU mulai menggelar sidang dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh 27 perusahaan produsen minyak goreng kemasan itu pada 20 Oktober 2022.

Kasus ini dilatarbelakangi naiknya harga CPO yang memicu kenaikan harga minyak goreng pada September 2021-Mei 2022. Investigator KPPU menduga kenaikan harga minyak goreng itu disebabkan tindakan penetapan harga atau kartel oleh 27 terlapor melalui komunikasi atau koordinasi antara mereka dalam pertemuan-pertemuan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) sepanjang 2019 sampai dengan awal 2022.

KPPU mendasarkan dugaan kartel pada alat bukti berupa pemberitahuan perubahan harga jual minyak goreng kemasan yang dikeluarkan oleh para terlapor pada Oktober 2021-April 2022. Hal itu dianggap sebagai kesamaan tindakan para terlapor untuk menaikkan harga minyak goreng kemasan.

Baca Juga


 

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler