Pemkot Bogor Larang Reklame Rokok Sejak 2009

Larangan reklame rokok di Kota Bogor dilakukan secara bertahap

Republika/Shabrina Zakaria
Satgas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor saat memusnahkan 500 lebih spanduk dan display iklan rokok di Kantor Kejaksaan Negeri Kota Bogor, Senin (6/12).. Sejak 2009, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yakni Perda Nomor 12 Tahun 2009. Perda tersebut kemudian juga dilengkapi oleh Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 3/2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Produk Rokok di Kota Bogor.
Rep: Shabrina Zakaria Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejak 2009, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yakni Perda Nomor 12 Tahun 2009. Perda tersebut kemudian juga dilengkapi oleh Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 3/2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Produk Rokok di Kota Bogor.


Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor, Deni Hendana, menjelaskan larangan reklame rokok di Kota Bogor dilakukan secara bertahap. Mulai dari imbauan lisan, tidak memperpanjang kontrak iklan rokok baru, sosialisasi larangan iklan rokok di area KTR, dan tidak memberikan izin pemasangan iklan rokok di semua area KTR.

“Keberanian kami melarang reklame rokok di Kota Bogor sangat didukung oleh pimpinan kami, Wali Kota Pak Bima Arya. Beliau mendorong Visi Kota Bogor untuk menjadi Kota Ramah Keluarga, dan menjalankan misi Bogor sebagai kota sehat dan sejahtera,” kata Deni di Kota Bogor, Selasa (17/1/2023).

Untuk mewujudkan visi Kota Ramah Keluarga, Deni mengatakan, Kota Bogor juga ingin mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dimana tahun ini Kota Bogor meraih predikat KLA kategori Nindya. Untuk itu menurutnya Kota Bogor harus memiliki fondasi yang kuat, salah satunya dengan menerapkan Perda KTR.

Deni tak memungkiri, sejak diterapkan Perda tersebut, Kota Bogor mengalami penurunan perolehan pajak reklame rokok. Pada 2008, pajak reklame rokok berada di angka Rp 3 miliar.

Seiring berlakunya Perda KTR, lanjut dia, pendapatan berkurang menjadi Rp 2,8 miliar pada 2009, kemudian berkurang menjadi Rp 1,7 miliar pada 2010. Lanjut berkurang menjadi Rp 1 miliar pada 2011, dan tidak lagi menerima pajak reklame rokok pada 2012.

Lebih lanjut, Deni mengatakan, pengaruh dilarangnya reklame rokok memang terlihat pada keseluruhan pendapatan pajak reklame pada 2009 hingga 2011. Dimana terjadi penurunan pendapatan dari Rp 10 miliar pada 2008, menjadi Rp 9,3 miliar pada 2011.

Namun, pada 2012 pendapatan pajak reklame secara keseluruhan kembali meningkat meski tidak lagi menerima pajak reklame rokok. Sebab, Pemkot Bogor melakukan upaya substitusi dengan mengganti iklan rokok menjadi non rokok di tempat strategis.

“Kita cari substitusinya ketika reklame rokok ditiadakan. Jadi menurut saya jangan khawatir, terutama bapak ibu yang mengelola kota dengan kehilangan potensi reklame khusus produk rokok,” jelas Deni.

Di samping itu, sambung dia, Pemkot Bogor menambah pendapatan pajak reklame dengan mengubah dan menambahkan videotron lebih banyak. Dibandingkan dengan iklan-iklan spanduk atau billboard.

Pemkot Bogor juga melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak selain reklame dan penyesuaian kebijakan tarif nilai sewa reklame. “Kehilangan potensi iklan rokok ini dicarikan dari jenis pajak lain. Jadi kehilangan pendapatan di reklame rokok, tapi bisa cari dari pajak restoran dan hotel yang potensinya cukup besar. Tinggal pengawasannya di situ,” tegasnya.

Selain visi dan misi yang kuat, menurut Deni sangat dibutuhkan political will dari Pimpinan Daerah untuk berani melarang iklan rokok di seluruh kabupaten/kota. Serta penegakan hukum yang tegas dalam implementasi regulasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler