YLKI Sebut Ada Konflik Kepentingan Kemenkes dengan BPOM Soal Kasus Gagal Ginjal Akut
Indikasinya terlihat Kemenkes tidak mau melakukan pengujian di laboratorium BPOM.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai ada konflik kepentingan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gagal ginjal akut. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan, hal ini didasarkan pada temuan tim pencari fakta.
YLKI tergabung dalam tim pencari fakta kasus gagal ginjal akut yang dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang terdiri dari berbagai profesi, termasuk YLKI hingga jurnalis. "Hasilnya setidaknya ada beberapa hal yang menjadi sorotan dalam penanganan gagal ginjal akut yaitu ada semacam konflik kepentingan antara Kemenkes dengan BPOM," ujarnya, Jumat (20/1/2023).
Ia menambahkan, masing-masing kementerian dan lembaga ini berjalan dengan ego sektoralnya sendiri-sendiri. Sehingga, ini berdampak pada perlambatan penanganan gagal ginjal akut dan menjadikan penyebarannya semakin masif.
Indikasinya terlihat dimana Kemenkes tidak mau melakukan pengujian di laboratorium BPOM. Tak hanya itu, YLKI juga menyoroti tidak adanya pemberian kompensasi untuk korban gagal ginjal dan pihak keluarganya.
"Ketika YLKI tanya ke Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) yang hadir di diskusi terkait dengan adanya kompensasi, dia menjanjikan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dan akan memberikan kompensasi pada korban gagal ginjal dan keluarga," kata Tulus.
Namun, dari temuan fakta yang didapati pihaknya ternyata korban gagal ginjal akut belum mendapatkan kompensasi apapun dari pemerintah, kecuali yang dijanjikan gratis pembiayaan berobat di rumah sakit. Namun, dia melanjutkan, faktanya gratis pembiayaan ini tidak benar-benar bebas biaya karena keluarga korban gagal ginjal juga masih mengeluarkan uang untuk sewa mobil ambulans, penguburan, dan lain sebagainya.
Bahkan, ia menyebutkan ada korban gagal ginjal akut yang belum ditanggung pemerintah karena waktu itu belum ada komitmen pemerintah dan dia bukan peserta Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan akhirnya mengeluarkan biaya pengobatan mandiri. YLKI juga menyoroti pemerintah yang tidak menyatakan kasus gagal ginjal akut sebagai tragedi.
Padahal, ia menjelaskan para korban terbukti secara klinis dan medis keracunan massal setelah menggunakan satu obat yang terbukti terkontaminasi cemaran etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi batas yang ditentukan. Ia menegaskan, hal ini sangat krusial karena konsumen keracunan dari obat akibat lemahnya pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh industri farmasi.
Berkaca pada kasus gagal ginjal akut, YLKI meminta pemerintah harus punya mekanisme dalam penanganan kasus-kasus besar. "Tidak boleh ada ego sektoral antarkementerian dan lembaga," ujarnya. Kemudian, pemerintah juga diminta memberikan kompensasi untuk para korban.